Text
Identitas dalam kekuasaan: hibriditas kuasa, uang, dan makna dalam pembentukan elite bugis dan makassar
Bugis dan Makassar sebagai sama-sama percaya bahwa asal-usul elite politik mereka bermula dari mitos Tomanurung (pemimpin yang turun dari langit). Keduanya menginginkan pola hubungan antara penguasa dan masyarakat bersifat kontraktual. Ini berarti bahwa kendati secara simbolik masyarakat memberi otoritas yang besar kepada si pemimpin, namun di waktu yang bersamaan, pemimpin harus taat dengan kesepakatan yang diberikan sang pemberi simbol, yakni Tomanurung.
Kontrak politik ini mulai berlangsung pada abad ke-13 di jazirah selatan Pulau Sulawesi, yang tentu menyadarkan kita bahwa ini merupakan sebuah pencapaian yang mendahului teori Thomas Hobbes, yang hidup pada abad XVI-XVII dan Montesquieu seabad setelahnya, tentang kontrak sosial.
Tapi di luar dari pandangan itu, pola perilaku mereka dalam berpolitik sangat berbeda. Bagaimana dua suku ini menyikapi siri (harga diri) dan pacce (rasa senasib) dalam dunia politik? Seperti apa cara menggunakannya dalam konteks masa kini?
Karya Imam Muhajidin Fahmid ini membedah sejarah pergerakan di Sulawesi Selatan, termasuk tarik-menarik antara Sulawesi Selatan dan Jawa dalam pusaran kekuasaan nasional. Imam menarik garis itu yang, rupanya, berhubungan awal terbentuknya elite-elite politik dengan membandingkan dua daerah yang merepresentasikan Bugis dan Makassar, Bone dan Gowa. Dan tentu juga menarasikan bagaimana tiga unsur—kuasa, uang, dan makna—diberdayagunakan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan politik.
Contoh yang menarik dan perlu kita simak bersama adalah studi kasus klan Page di Desa Tabba'e, di Bone yang berhasil mendobrak sistem kebangsawanan yang awam berlaku di kawasan ini, tatkala memasuki dunia politik.
Selamat membaca. Selamat memasuki dan memindai dunia politik Sulawesi Selatan!
BPP00001354 | 320.4 IMA i | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain