Text
Mutiara Bumi Etam: sebuah perjalanan sejarah
Johansyah Balham didalam buku Mutiara Bumi Etam menuliskan, menurut riwayat Kota samarinda dibangun Belanda pada tahun 1730, kurang lebih 62 tahun setelah Samarinda Seberang dibangun oleh Poa Ado atau Lamohang Daeng Mangkona atas kepercayaan Sultan Kutai Kartanegara tahun 1668.
Lamohang Daeng Mangkona adalah perantau bugis dari Sulawesi, ia dipercayai untuk bermukim dan membuka perkampungan didaerah Samarinda serta beberapa kampung, seperti Muara Badak, Muara Pantuan, Tanjung Harapan, serta disepanjang pesisir, baik arah ke selatan wilayah Kota Baru Pulau Laut maupun ke Utara daerang Bengalon, Sangkulirang hingga keperbatasan Kerajaan Berayu Kalimantan Timur.
Perkampungan Samarinda dibuka dengan cepat oleh orang bugis asal bangsawan Wajo yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona. Menurut cerita penyebaran orang-orang Bugis ke seluruh wilayah nusantara, termasuk di Kalimantan Timur, khususnya di tanah Kutai dari bangsawan asal Wajo dan Bone pada tahun 1665.
Untuk kepentingan pertahanan, Lamohang Daeng Mangkona serta pengikutnya diberi tempat didaerah ilir yang tak begitu jauh dari muara, yaitu di kampung Melantai. Keberadaan mereka ditempat itu, selain untuk membuka perkampungan, juga utuk kepentingan pertahanan dan pengembangan perekonomian kerajaan. Untuk itu Lamohang Daeng Mangkona dipercayakan sebagai petinggi didaerah tersebut dengan gelar Poa Ado.
Pemberian tempat itu memang tidak sia-sia. Yang diharapkan oleh Raja Kutai memang berhasil. Semakin lama kampung yang baru dibuka itu semakin berkembang dan makmur. Pendatang dari daerah Sulawesi semakin banyak dan menetap menjadi penduduk. Pendatang tidak hanya dari Sulawesi, tetapi juga orang-orang Banjar dari Kalimantan Selatan berdatangan ke daerah yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona.
Hutan-hutan dibabat dan dijadikan perkebunan dan persawahan dan lain sebagainnya, sehingga menjamin kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Orang-orang bugis ini amat kuat bergotong royong dan rasa kesetiakawanan. Mereka adalah penganut agama islam yang fanatik. Padahal ketika itu rakyat maupun bangsawan Kutai masih banyak yang beragama Hindu kaharingan. Sebagian memang sudah pula memeluk agama islam.
Dengan adat kesetiakawanan yang tinggi, masyarakat dibawah pimpinan Lamohang Daeng Mangkona atau Poa Ado ini merasa tidak ada yang berderajat lebih tinggi dari yang lainnya. Karena itu mereka disebut orang-orang berbudi dan rendah hati. Nama ini sangat mempengaruhi keadaan daerah tersebut. Semula banyak orang menyebut daerah itu dengan nama Sama Rendah yang lama kelamaan berganti sebutan menjadi Samarenda. Asli nama Samarinda itu adalah yang kini disebut sebagai Samarinda Seberang.
Seiring dengan perkembangan kampung Samarinda, saat itu datang pula perantau dari Banjar, Kalimantan Selatan. Mereka berdiam ditepi kanan sungan atau di seberang Samarinda Daeng Mangkona. Orang-orang banjar ini membuka kampung-kampung kecil, disini mereka bekerja sebagai petani dan nelayan.
BPP00001176 | 904 JOH m | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain