Text
Laporan akhir pengkajian aktual: Partisipasi dan netralitas aparatur sipil negara dalam pemilihan kepala daerah secara langsung (kasus kota Surabaya)
Satu buah dari reformasi di jajaran pemerintahan daerah adalah adanya pemilihan kepala daerah secara langsung. Selain merupakan tuntutan yang harus dilaksanakan demi pembelajaran demokrasi, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung juga merupakan moment penting untuk menjaring pemimpin kepala daerah yang lebih baik dan berkualitas. Di Indonesia, untuk pertama kalinya dilaksanakan pemilihan kepala daerah langsung secara serentak berdasarkan Undang-Undang Pilkada nomor 8 tahun 2015 pada tanggal 9 Desember 2015, dan salah satunya adalah pemilihan kepala daerah di Kota Surabaya. Dalam kaitannya dengan eksistensi Aparatur Sipil Negara, paling tidak ada 2 (dua) persoalan yang harus dicermati dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah tersebut, yaitu masalah partisipasi dan netralitas Aparatur Sipil Negara. Fenomena yang terjadi selama ini adalah keterlibatan Aparatur Sipil Negara dalam partisipasi pemilih masih minim (rendah). Selain itu, disinyalir masih banyak Aparatur Sipil Negara yang tidak netral dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Sehubungan dengan itu, maka kajian ini bertujuan menganalisis partisipasi dan netralitas Aparatur Sipil Negara dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Data dikumpulkan pada bulan Nopember 2015 menggunakan metode dokumentasi, Focus Group Discussion (FGD), dan wawancara. Lokasi kajian ini adalah di Kota Surabaya. Analisis data menggunakan teknik deskriptif. Hasil kajian menunjukan bahwa secara umum partisipasi Aparatur Sipil Negara dalam pemilihan kepala daerah di Kota Surabaya cukup baik, namun netralitas Aparatur Sipil Negara masih belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Sedikitnya ada 3 (tiga) faktor pokok yang mempengaruhi partisipasi Aparatur Sipil Negara, yaitu faktor keteladanan pimpinan, komitmen pegawai dan pembinaan pegawai. Adapun untuk netralitas Aparatur Sipil Negara antara lain dipengaruhi oleh faktor ambisi pegawai, primodialisme, dan lingkungan kerja pegawai. Titik rawan Pilkada yang harus diperhatikan adalah 1. Pencalonan : Candidacy Buying, Sengketa Bawaslu atau Panwaslu, Gugatan Hukum PT TUN, 2. Kampanye: Vote Buying, Penggunaan Dana dan Fasilitas Publik, Politisasi Birokrasi, Black campaign, 3. Voting : Intimidasi, Pengarahan 4. Vote Counting
: Suap, Netralitas Petugas, 4. Pengumuman hasil : Penolakan, sengketa hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Sedangkan keberhasilan Pilkada dapat dilihat dari beberapa factor antara lain yaitu: 1. Faktor Regulasi, 2. Faktor Aktor/ benar2benar siap kalah, 3. Faktor Parpol/menjalankan fungsi 4 Faktor Budaya Politik Masyarakat 5. Faktor Penyelenggara/profesionalisme dan independensi , 6 Faktor Birokrasi/Netralitas dan 7. Faktor dukungan administrative seperti data kependudukan. Hal-hal yang disarankan antara lain adalah: perlunya secara insentif melakukan sosialisasi kepada Aparatur Sipil Negara tentang pentingnya partisipasi politik dalam pemilihan kepala daerah; yang merupakan hak dan kewajiban menyusun program-program Pendidikan dan pelatihan peningkatan partisipasi politik Aparatur Sipil Negara; merumuskan perubahan terhadap materi pembina karir pegawai daerah dari kepala daerah sebagai pejabat politik kepada pejabat karir tertinggi di daerah (seperti Sekretaris Daerah); memperkuat struktur kelembagaan dan perlanggaran netralitas Aparatur dalam pemilihan kepala daerah dengan cara membuat suatu hubungan kerja funional-struktural dari Badan Pengawas Pemilihan Umum, Panitia Pengawas Pemilihan Umum, Badan Kepegawaian Daerah, dan Inspektorat daerah; serta memperkuat aspek pengawasan masyarakat dengan cara masyarakat perlu diberikan pendampingan tenaga hukum yang dapat membantunya memberikan laporan apabila terjadi tindakan pelanggaran hukum dari Aparatur Sipil Negara.
BPP00010754 | R 352.63 SIT l | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain