Text
Soedirman: seorang panglima, seorang martir
Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir merupakan salah satu seri buku TEMPO dengan kategori tokoh militer. Barangkali awalnya dari kumpulan artikel tematis majalah itu? Yah, pokoknya saya senang buku ini diterbitkan, karena saya memang hobi baca sejarah dan Soedirman adalah salah satu pahlawan nasional yang kisah hidupnya belum banyak saya baca.
Selama ini, saya cuma tahu kisah sang panglima dari buku pelajaran sekolah. Tidak banyak yang bisa digali dari situ, kecuali fakta bahwa dia seorang jenderal muda dengan kemauan yang kuat, bahwa dia nekat berangkat gerilya meskipun paru-parunya cuma tinggal satu. Dengan kata lain, dia hanya digambarkan sebagai sosok ‘superhero’ tanpa celah atau kesalahan yang berarti. Sebuah persona yang mungkin memang sengaja diciptakan oleh pemerintah Orde Baru. Mohammad Hatta pun menyayangkan kecenderungan dalam menyikapi sejarah Soedirman yang cenderung berlebihan.
“Sejak Jenderal Soeharto menjadi presiden, menjadi kebiasaan memusatkan segala-galanya pada Jenderal Soedirman, seolah-olah Indonesia merdeka bermula dari dia,” katanya.
Sudah jadi rahasia umum, Soedirman memilih gerilya karena tidak sepaham dengan keputusan Sukarno-Hatta untuk bertahan di Yogyakarta selagi Belanda melancarkan serangan. Fakta ini digunakan oleh Orde Baru untuk menciptakan citra bahwa pemerintahan sipil tidak dapat diandalkan, oleh karena itu yang terbaik adalah memberikan kekuasaan kepada militer.
Walaupun begitu, terlepas dari pendewaan dirinya sebagai seorang tokoh militer, sebenarnya Soedirman memang seorang jenderal mumpuni yang benar-benar layak mendapat gelar panglima besar dan status sebagai pahlawan nasional. Cuma, ya mbok jangan berlebihan kalau memuja.
Buku ini sendiri berbicara tentang nyaris setiap bab dalam kehidupan Soedirman. Dari latar belakang keluarganya yang menjadi polemik, kisah cintanya dengan sang istri Siti Alfiah, penunjukannya sebagai panglima besar alih-alih Oerip Soemohardjo yang jauh lebih senior dan berpengalaman, manuver militer dan politiknya, pasang-surut hubungannya dengan beberapa tokoh nasional, hingga tuduhan keikutsertaannya dalam upaya kudeta pertama di Indonesia yang kemerdekaannya bahkan belum diakui dunia. Sepak terjangnya saat bergerilya tentu saja paling banyak dibahas. Setiap bab tidak diceritakan secara runut, tetapi ending-nya sama. Takluknya sang jenderal terhadap penyakit yang menggerogoti tubuhnya di usia 34 tahun. Usia yang sangat muda. Kehidupan yang singkat dengan begitu banyak kisah untuk diceritakan.
BPP00009086 | 923.5 SOE | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain