Text
Soedjatmoko dan keprihatinan masa depan
Agustus 1985, Soedjatmoko terpilih kembali sebagai Rektor Universitas PBB. Koko, demikian panggilan akrabnya, sebenarnya bukan orang baru di lingkungan tersebut. Sejak lembaga ini berdiri, 1974, ia anggota panitia untuk program pengembangan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Sebagai rektor, Koko punya program jangka menengah yang pelaksanaannya perlu waktu enam tahun, 1982-1987. Program ini mencakup: Perdamaian dan Penyelesaian Konflik, Ekonomi Global, Kelaparan dan Kemiskinan, dan Koeksistensi Bangsa-bangsa dengan Sistem Sosial Berbeda.
Tentang persoalan ekonomi dunia, ia mengatakan, ''Teori ekonomi yang ada tidak mencukupi lagi untuk menerangkan gejala yang timbul sekarang. Perlu riset dasar untuk menghadapi masalah konkret maupun untuk menyusun teori baru .''
Koko percaya, ''Hari depan dunia lebih banyak ditentukan moralitas keputusan kita sekarang.'' Sikap dan gagasannya tentang moral sangat mengesankan pewawancaranya (waktu itu Sekjen PBB Kurt Waldheim) dalam ''tes'' terakhir menjelang ia diangkat pada jabatannya yang sekarang. Sebelumnya, Koko telah menyisihkan empat orang ''saingan''-nya dari Peru, Afrika, India, dan Swedia.
Gagasan-gagasan Koko sudah lama dikenal di dunia internasional. Pada 1978, ia mendapat hadiah (Rp 8 juta) dari Yayasan Ramon Magsaysay. Pendapat-pendapatnya yang dinilai sebagai, ''Sumbangan berharga kepada pemikiran internasional untuk menanggulangi salah satu tantangan besar masa kini, yakni bagaimana meningkatkan martabat hidup sekitar 40 persen rakyat Asia Tenggara dan Selatan, yang merupakan lapisan paling miskin.'' Tentu di luar Etiopia.
Sejak Indonesia baru berdiri, Koko, yang kemudian menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia ini, terlibat dalam kegiatan internasional. Pada 1947-1951, ia anggota delegasi Indonesia di PBB. Pada Konperensi Asia Afrika (1955), ia penasihat delegasi negerinya. Berbagai pos diplomatik dipegangnya sejak 1947 sampai 1971. Pada 1969, ia menerima gelar doctor honoris causa bidang hukum dari Cedar Crest College Pennsylvania, dan pada 1970 doktor untuk bidang humaniora dari Universitas Yale, Connecticut, AS.
Sekolah formalnya di Sekolah Tinggi Kedokteran terhenti karena sikapnya yang tidak mau berkompromi dengan pemerintah pendudukan Jepang. Koko lantas memencilkan diri ke Solo, dan tenggelam dalam keasyikan membacai buku-buku loakan yang ia dapatkan dari Pasar Klewer, Solo. Di masa pengucilan itu pula Koko, di samping menekuni buku-buku karya Bergson, Max Scheler, Karl Jasper, dan Martin Heideger, juga mempelajari mistik Islam, Katolik, India, dan alam kebatinan Jawa. Di kota itu pula ia sempat berdialog dengan Ki Ageng Suryomentaram, tokoh pemikiran Jawa.
Pada akhirnya, seperti dikatakan Aswab Mahasin ketika memberikan pengantar untuk buku Koko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan (LP3ES, 1983), ''Susah menunjukkan kotak di mana Koko berada.'' Dalam menguraikan gagasan-gagasannya, Koko memang merambah segala batasan disiplin ilmu tertentu. Pemikirannya multidimensional.
Koko menjalani masa kanaknya yang pertama di Negeri Belanda. Pulang ke tanah air ketika berusia tujuh tahun, ia merasakan pedihnya diperlakukan sebagai inlander. Ayahnya -- dokter K.R.T. Saleh Mangundiningrat, ahli bedah berpendidikan Barat, yang kemudian menjadi dokter Keraton Surakarta dan sempat memimpin Universitas Islam Cokroaminoto -- jelas keluarga priayi, yang lazimnya di bawah pengaruh budaya Hindu, Islam, dan sekaligus Barat. Latar belakang ini, dan berbagai perbenturan nilai yang ia alami di masa pertumbuhannya, menyebabkan, kata Aswab Mahasin, ''Soedjatmoko anak sejati dari perubahan.'' Koko memiliki beberapa gelar Doktor Kehormatan, masing-masing dari Universitas Cedar Crest, AS (1969); Universitas Yale, AS (1970), dan Universitas Kenegaraan Malaysia (1980)
BPP00006003 | 920.71 SOE s | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain