Text
Strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi daerah: perspektif teoritik
Pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia telah mengalami berbagai upaya perbaikan yang ditunjukkan dengan berbagai perubahan dasar hukum yang melandasi pelaksanaan pemerintah daerah, mulai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan terakhir melalui ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan perubahan-perubahan tersebut, dibuktikan bahwa pembenahan sistem pemerintahan daerah terus berjalan dinamis seiring dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat.
Desentralisasi
Pengaruh konsep desentralisasi itu sudah terlihat dengan makin meluasnya tuntutan publik untuk mengadopsi gagasan demokratisasi di bidang pemerintahan mulai dari level nasional hingga level terendah. Di luar struktur dan institusi pemerintahan telah muncul hasrat yang makin kuat untuk membudayakan demokratisasi dengan memperkuat keberdayaan masyarakat sipil (civil society). Keinginan ini terefleksikan pada tuntutan untuk mengubah secara substansial dan fundamental pola hubungan politik agar semakin bercorak egaliter.
Dalam kaitannya dengan persoalan yang melingkupi kebijakan otonomi daerah, pembangunan ekonomi daerah adalah permasalahan mendasar yang masih belum teratasi. Sampai saat ini melalui otonomi daerah masih terkendala masalah keterbatasan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Masih terjadi ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kucuran dana dari pemerintah pusat yang berbentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Perimbangan. Ketidaksiapan aparatur pemerintah daerah dalam menghadapi Otonomi Daerah menjadikan banyak daerah masih kesulitan untuk mencari sumber pembiayaan yang otonom.
Banyak Proyek Tidak Tepat Sasaran
Kondisi tersebut diperparah dengan fakta bahwa alokasi dana pembangunan daerah dinilai belum tepat sasaran. Di daerah-daerah saat ini, banyak proyek-proyek pembangunan tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan kebutuhan pengembangan kesejahteraan masyarakat daerah. Hal ini berakibat pada inefisiensi pembiayaan pembangunan. Dampak kebijakan demikian memberikan kontribusi negatif pada keberhasilan pembangunan atau tidak terdapat hubungan signifikan antara peningkatan biaya pembangunan dengan keberhasilan pembangunan yang ditandai dengan pengurangan angka kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Faktanya, membengkaknya anggaran daerah seringkali tidak diimbangi dengan pemetaan yang akurat terhadap situasi aktual kebutuhan masyarakat. Terkesan, kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat hanya bersifat tambal sulam. Kasus-kasus demikian di era otonomi daerah saat ini baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota masih terasa karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan mengenai pengelolaan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, serta ketaktersediaan sarana-prasarana pendukung pelaksanaan otonomi daerah serta keterbatasan kemampuan pendanaan pembiayaan pembangunan di daerah sebagaimana disebutkan sebelumnya.
BPP00003487 | 338.9 SAF s | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain