Text
Transisi menuju demokrasi: tinjauan berbagai perspektif
Penekanan pembahasan dalam buku ini adalah perlunya partisipassi massa dalam politik dengan tujuan untuk mengamankan pembangunan ekonomi dan modal kapitalis dalam proses pembangunan di negara-negara terbelakang. Hal ini ditujukan untuk membangun stabilitas politik. Cara yang paling efektif adalah melalui militer. Dengan kata lain, pembangunan di negara-negara terbelakang dipusatkan melalui negara (kontrol militer) sehingga negaralah yang berada di posisi strategis, massa tidak dilibatkan dalam proses politik sehingga demokrasi tidak berjalan secara semestinya.
Kemudian, setelah O’Donnel mengetahui bahwa argumen Bureaucratic aiitlioritariaiiism tidak realistik, menurut William Liddle dan Mujani, O’ Donnell pada penghujung tahun 80-an beralih ke pendakatan elite untuk menjelaskan variasi muncul dan stabilnya demokrasi. Mereka berkesimpulan bahwa, munculnya rezim demokasi adalah suatu “kebetulan” sejarah yang tidak bisa dijelaskan. Elit dinilai penting dalarn proses transisi ke rezim demokrasi tetapi kapan elit menjadi pro demokrasi dan kapan tidak, menurutnya tidak bisa dijelaskan. Konsep ini juga telah dikritik oleh Prezeworski dan Lunongi, yang datang juga dari lingkaran kiri.
Menurut pendekatan ini elit ini, diasumsikan bahwa transisi jadi rezim nondemokrasi ke rezim demokrasi sebagian besar ditentukan oleh inisiatif, kompromi, dan kalkulasi rasional elit politik. Pilihan atas demokrasi dipandang memupgkinkan elit mencapai tujuan politiknya. Motif dan kalkulasi elit seperti ini tentu saja akan ditemukan dikalangan elit politik pada umumnya. Secara urut demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan yang saling berkaitan, yaitu: liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi. Liberalisasi adalah proses mengefektifkan hak-hak politik yang melindungi individu dan kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak sah yang dilakukan oleh negara atau pihak ketiga. Pada tahap ini biasanya ditandai kekuasaan untuk membuka peluang terjadinya kompetisi politik, dilepaskannya tahanan politik, dan uiberikannya ruang kebebasan pers. Tahap lain selain liberalisasi adalah transisi, yaitu titik awal atau interval (selang waktu) antara rezim otoritarian dengan rezim demokrasi. Transisi diawali dengan keruntuhan rezim otoriter lama yang kemudian diikuti dengan pengesahan lembaga politik peraturan politik baru di bawah payung demokrasi. Setelah transisi yaitu konsolidasi. Proses konsolidasi jauh lebih komplek dan panjang dibandingkan transisi. la merupakan proses yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokrasi. Didalamnya diwarnai proses negosiasi.
Dari uraian di atas, cukup konkret apabila kita bandingkan dengan perjalanan sejarah di Indonesia, dimana saat orde baru, peran negara begitu ketat sehingga tidak ada yang bisa “bersaing“ dengan kehendak negara (pemerintah). Kemudian, muncullah pergerakan yang menginginkan perubahan dengan melumpuhkan rezim orde baru. Dan hal ini yang dianggap sebagai solusi terciptanya perubahan. Setelah itu, lembaran baru demokrasi mulai terbuka (reformasi) dengan adanya pemilu. Namun, hingga sekarang perjalanan demokrasi di Indonesia ternyata tidak sesuai dengan harapan, bahkan muncul permasalahan di berbagai bidang, seperti KKN (terbuka secara jelas). Memang keran aspirasi dan berpendapat terbuka lebar (sangat lebar malah), tetapi masalah kesejahteraan juga tidak berubah cukup signifikan. Berkaca dari pengalaman ini, akankah Indonesia masuk dalam fase negosiasi untuk kembali pada masa lalu?
BPP00003258 | 321.8 GUI t | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain