Text
Semangat perjuangan peranakan idealis: merintis Jalan menuju kesetaraan dan penyelesaian kewarganegaraan etnis Tionghoa sejak tahun 1945
Nasib dan kondisi etnis Tionghoa di tanah air muncul ke permukaan setelah bergantinya rezim Orde Baru ke era reformasi. Era reformasi yang membawa angin perubahan fundamental di bidang politik, demokrasi, dan HAM memberi membawa dampak positif bagi eksistensi masyarakat Tionghoa. Masa-masa sulit pada era pemerintahan Soekarno dan Soeharto pernah menimpa warga Tionghoa di tanah air, terutama diakibatkan oleh faktor politik baik nasional maupun global, yang itu berada diluar kehendak dan kontrol warga Tionghoa di Indonesia itu sendiri.
Bahkan ada kurun waktu warga Tionghoa yang berada di desa-desa “dipaksa” keluar dari desanya dan pindah ke kota (sebagai akibat pelaksanaan Perpres No. 10 Tahun 1959 yang serampangan dan gebyah uyah karena tidak membedakan warga Tionghoa yang WNI dan WNA, semua harus keluar dari desa). akibatnya warga masyarakat Tionghoa yang WNI dan sudah puluhan tahun hidup di desa dan mencari nafkah sesuai karakter desa (terutama di bidang pertanian, perkebunan, peternakan) tercerabut dari akar kehidupannya sendiri dan harus mengubah pekerjaannya sesuai dengan karakter kota.
Peluang perubahan
Era reformasi membuka peluang perubahan kedudukan dan peranan serta kondisi warga Tionghoa. Dimulai ketika Presiden BJ Habibie menerbtkan Inpres No. 26 Tahun 1998 yang menghapus penggunaan istilah pribumi dan non pribumi terhadap WNI etnis Tionghoa. Lompatan besar sikap negara ditunjukkan juga dalam Inpres tersebut yang menginstruksikan agar semua pejabat pemerintah memberikan pelayanan yang sama kepada setiap warga negara. Bukan hanya itu dilakukan peninjauan kembali dan penyelesaian terhadap seluruh produk hukum, kebijakan, dan program. Habibie juga memerintahkan bahwa instruksinya ini mencaskup bidang pemberian layanan dalam perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja (hlm. 94).
Perubahan mendasar lainnya masih dilakukan Presiden Habibie dengan menerbitkan Inpres No. 4 tahun 1999 yang menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) yang sangat mempersulit warga Tionghoa sekaligus menjadi perwujudan diskriminasi terhadap warga Tionghoa yang WNI. Selain itu, Inpres tersebut juga memberikan izin bagi diberikannya pelajaran bahasa Mandarin (hlm. 95). Pemberian izin ini memang sudah menjadi keharusan dan kebutuhan apabila melihat nilai manfaatnya dalam dunia yang makin terhubung menjadi satu dan di tengah pengguna bahasa Mandarin yang sangat besar di dunia.
BPP00002740 | 320 PRA s | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
BPP00002741 | 320 PRA s | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain