Text
Hamka di mata hati umat
Hamka adalah pribadi yang mengandung arti penting dan harum namanya
bagi Tanah Air, Bangsa dan Agama . Kita mengangkat namanya bukan sekadar
karena beliau seorang tokoh , tetapi lebih dari itu pikiran-pikiran,
ajaran-ajaran dan tingkah lakunya yang memiliki makna unggul dan
kharismatik.Oleh sebab itu, sebagaimana diutarakan Tim Penyunying bahwa
penerbitan buku ini dimaksudkan untuk mengingat dan mengenangkan kembali
masyarakat luas akan almarhum Buya Hamka . Buku yang diantarkan ini
mengungkapkan pribadi Hamka yang belum terungkap semasa beliau hidup
dengan segudang pengalaman dan kegiatan yang menarik untuk dikenang .
Demikian ulasan pengantar Tim Penyunting mengiringi tulisan-tulisan
dalam buku ini. (halaman 17).
Buku Hamka Dihati Umat ini adalah salah satu dari sekian buku yang
menyorot segi-segi kehidupan Ulama terkemuka ini. Penulis dan
Contributor tulisan dalam buku ini diklasifikasikan dalam berbagai
bidang yang menyangkut status Buya Hamka. Buya yang dipandang sebagai
pemimpin politik, agamawan,sastrawan , wartawan disamping yang terakhir
adalah sebagai manusia biasa dimata hati umat. Ada 32 penulis yang
meyumbangkan tulisannya dalam buku yang setebal 432 halaman ini.
Kesemuanya penulis itu dari berbagai kalangan terutama dibidang yang
biasanya digeluti Hamka, baik sastera,politik dan agama . Hampir
semuanya memuji Hamka dan ada satu dua yang menceritakan beberapa
pengalamannya bersama Hamka. Sorotan terhadap roman-roman yang dikarang
Hamka. Dan pengalaman kejengkelan terhadap Buya juga diutarakan penulis
lewat tulisannya dalam buku itu.
Leon Agusta misalnya menceritakan pengalaman masa kecilnya bersama Buya
sekitar tahun 40 an didesa kecil Sigiran tempat kelahiran Leon dipantai
barat Danau Manijau yang indah itu . Sering sekali Buya berkunjung
kedesa itu dalam rangka tabligh dan hampir setiap berkunjung kesana
beliau selalu menginap dirumah Leon. "Malam hari ia sering ngobrol
bersama ayah saya Ilyas Sutan Pangeran sampai larut malam", cerita Leon.
Apa kenangan Leon bersama Buya Hamka? " Selama mereka ngobrol itu saya
sering disuruh memijit kakinya . Nah itulah yang membuat saya merasa
dendam pada waktu itu. Bayangkan, ia cukup gemuk, kakinya besar . Saya
berumur sepuluh tahun ketika itu. Dikampung kami biasanya kami tidur
lebih cepat , tetapi karena harus memijit, saya terpaksa tidur
terlambat. Saya ingat bagaimana rasanya sakit kepala menahan kantuk
sehingga saya sering nyaris tertidur sambil duduk. Tetapi setiap kali
saya terhenti ia menggoyangkan kakinya membangunkan saya dan saya
terpaksa meneruskan pekerjaan memijitnya lagi. Sungguh suatu pekerjaan
yang menjengkel sekali", kenang Leon dalam bagian tulisannya yang
berjudul:" Diakhir Pementasan Yang Rampung",( halaman 71 ).
Novel Hamka Tenggelamnya kapal Vander Wijck dan Dibawah Lindungan
Ka'bah adalah dua novel yang dinilai oleh Farchard Poeradisastra. Cara
berceritanya mirip surat , kurang menimbulkan unsur dramatik . Menurut
Farchad novel ini kurang berhasil kendatipun banyak dibicarakan orang .
Dan cara Hamka membunuh tokoh utama novel ini terasa kurang bijaksana.
Tokoh yang ditampilkan selalu orang-orang yang lemah mental. Jiwa
revolusioner tak terpencar, dimana Hamka lebih sering melampiaskan rasa
tidak simpatinya terhadap adat istiadat Mingkabau yang kolot itu. Hamid
dan Zaenab pada DBLK, maupun Zainudin dan Hayati TKvdW adalah figur
idealis romantik yang maunya dijadikan Romeo dan Juliet, namun tak punya
kenekatan seperti tokoh-tokoh yang terakhir ini. Jadi tak heranlah,
kendati Zainudin berdarah Makasar dari pihak ibu, namun ia tetap muncul
sebagai pribadi pemuda Minagkabau yang tak mempunyai hak dan harga diri,
kalau tetap dikampung halamannya. (halaman 155).
Ada cerita lain yang cukup layak untuk disimak dalam buku ini. Berbeda
dengan penulis lain yang menceritakan segi-segi positif dari Buya Hamka.
Abdurrahman Wahid ,seorang tokoh NU yang terkemuka mengetengahkan segi
kehidupan Buya Hamka yang dinilai oleh Gus Dur sebagai layak pula untuk
diketengahkan dalam pengantar buku ini. Bagaimana pandangan Gus Dur
terhadap Buya Hamka? Dalam tulisan pengantarnya yang berjudul: "
Benarkah Buya Hamka Seorang Besar?", tokoh NU itu menilai Buya Hamka
sbb: "Buya Hamka mendapat pendidikan agama dari sumber yang memiliki
keabsahan penuh, dilihat dari sudut pandangannya sendiri. Hal itu
terlihat dari episode yang dikisahkan juga dalam buku ini, ketika Buya
Hamka berkunjung ke Pakistan untuk menghadiri forum Islam. Ketika forum
itu memutuskan Gerakan Ahmadiyah sebagai paham yang terlarang dalam
Islam , maka Buya Hamka membakar buku-buku yang diterimanya dari Gerakan
Qadiani tsb. Kita tidak usah terkejut karena orang seperti Buya Hamka
masih juga berbudaya " membakar buku " , karena sikap itu timbul dari
sikap keagamaan yang dibentuk sumber pemikiran absolut yang bersifat
sangat eksklusif dalam memperlakukan kebenaran. Terlepas dari setuju
atau tidaknya kita kepada " budaya " seperti itu, Buya Hamka bukanlah
orang satu-satunya yang bersikap seperti itu. Itu adalah bagian dari "
keulamaan " yang dibentuk oleh sumber pemikiran yang sudah puas dengan
kebenarannya sendiri" (halaman 34,35).
Episode yang dimaksud Abdurrahaman Wahid itu adalah bagian tulisan H.
Achmad Syathari yang berjudul " Hamka Manusia Biasa " dalam buku itu.
maka berceritalah H.Achmad Syathari sbb: " Dipenghujung 1957, Pemerintah
Pakistan mengadakan Pertemuan Islam Internasional (International Islamic
Colloquium). Buya Hamka dan sejumlah tokoh-tokoh Islam Indonesia lainnya
juga hadir. Pertemuan ini ditandai atau diwarnai perdebatan yang sengit,
ketika bahasan berkisar tentang Ahmadiyah . Sebagaimana layaknya suatu
perdebatan, ada yang pro dan kontra . Buya termasuk dalam kelompok yang
menentang".
Cerita berikutnya adalah ketika Buya kembali kehotelnya. Untuk
memnghilangkan kepenatan dan mengusir udara dingin, beliau duduk santai
sambil; menghangatkan badanya diperapian. Saat itulah, tokoh-tokoh
Ahmadiyah datang berkunjung kekamarnya, sambil menyerahkan setumpuk buku
buku tentang Ahmadiyah. Nampaknya tokoh-tokoh Qadiani itu berusaha untuk
meyakinkan Hamka tentang kebenaran Ajaran Ahmadiyah. Setelah mengucapkan
terima kasih atas "kebaikan" tamunya itu, yang telah memberikan setumpuk
buku-buku gratis , dan konon katanya ilmiah pula , Hamka kemabli duduk
didepan perapian. Kejadian berikutnya sungguh tidak diduga .
Setumpuk buku-buku Ahmadiyah yang baru saja diterimanya, satu demi satu
dibakar dalam perapian. "Ah , lumayan untuk menambah hangatnya badan .
Rupanya orang Ahmadiyah itu baik hati, mau datang kekamar saya membawa
bahan bakar ,disaat kayu dalam perapian hampir habis", kata Hamka.
(halaman 265). Bagaimana pandangan Abdurrahman Wahid mengenai peristiwa
ini? Dalam tulisan pengantar buku tsb, beliau mengatakanbahwa sikap
ulama-ulama itu adalah suatu kepicikan dalam pandangan yang merupakan
bagian keulamaan yang dibentuk oleh sumber pemikiran yang sudah puas
dengan kebenarannya sendiri. Penilaian Gus Dur ini memang sudah
sewajarnya . Betapa tidak, bahwa ulama-ulama sudah sampai mengganggap
buku-buku punya dosa sehingga perlu dibakar.....
BPP00002241 | 92 HAM | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain