Text
Siapa menabur angin akan menuai badai
BUKU kontroversial Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai (SMAAMB) yang sangat laris itu, ternyata, tak hanya mendatangkan rezeki. Buku yang, konon, sudah dicetak sebanyak 20 ribu eksemplar itu, ternyata, juga mengundang gugatan. Soegiarso Soerojo, pengarang buku itu, digugat oleh Soendoro Hardjoamidjojo, 62 tahun, Bupati Nganjuk 1960-1968. "Bagaimana ia bisa menyimpulkan Bupati Nganjuk pada 1963 itu bekerja sama dengan PKI, sebab pada tahun itu saya yang menjadi bupati di sana," kata Soendoro, sarjana hukum alumni UI Jakarta, yang kini menetap di Malang. Lebih gawat lagi, buku itu beredar di saat soal bersih lingkungan ramai dibicarakan seperti sekarang ini. "Tulisan itu bisa merusak reputasi saya dan keturunan saya," kata Soendoro ayah lima anak dengan tiga cucu itu. Malah, menurut R.O. Tambunan, pengacaranya, sejak keluarnya buku yang mendapat pemberitaan luas di media massa itu, usaha Soendoro sebagai pengacara di Malang jadi macet. Banyak masyarakat yang khawatir berhubungan dengan advokat senior yang menjadi Ketua IKADIN Cabang Malang itu. "Saya bukan mendramatisasikan persoalan, tapi begitulah kenyataannya," ujar Tambunan. Maka Selasa pekan lalu, atas nama kliennya, Tambunan memasukkan gugatan terhadap Soegiarso Soerojo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penulis sekaligus penerbit buku SMAAMB itu diminta untuk membayar ganti rugi sebesar Rp1,25 milyar atas kerugian material dan moral yang diderita penggugat sebagai akibat dari tulisan yang mencemarkan nama baiknya itu. "Kalau saya menang, uang itu saya sumbangkan ke badan sosial," kata Soendoro. Selain itu, Soegiarso Soerjo digugat pula agar membuat pernyataan maaf pada Soendoro yang dimuat di koran daerah, koran Jakarta, dan koran berbahasa Inggris, selain tulisan di buku itu sendiri mesti diralat. Ini untuk mengembalikan nama baik Soendoro yang sempat tercemar. Di bab III SMAAMB, Soegiarso berkisah bagaimana suasana Indonesia setelah masa demokrasi terpimpin: Soekarno tambah berkuasa, dan tambah dekat dengan PKI. Dihalaman 181, di bawah judul Ibu Pertiwi Hamil Tua, Soegiarso mengungkapkan betapa sejak 1963, PKI, sebetulnya, sudah merasa siap tempur. Itu bukan saja karena jumlah anggotanya kian besar, tapi juga disebabkan keberhasilan partai itu menyusupkan kadernya di mana-mana. Di Jawa Tengah, misalnya, Soegiarso menulis bahwa sejumlah bupati dan wali kota sudah diduduki orang PKI. Begitu pula di Jawa Timur. Ia menyebut contoh: Bupati Madiun, Magetan, Ngawi, Trenggalek, Banyuwangi, dan Nganjuk. Sedang Wali Kota Surabaya disebutkannya sebagai fellow traveller (pembonceng) PKI. Memang tak tersebut nama Soendoro Hardjoamidjojo. Tapi karena di bab tadi ada ditulis tahun 1963, pantas kalau Soendoro yang pada tahun itu menjadi bupati di sana, merasa terkait. Apalagi, menurut Soendoro, Bupati Madiun, Magetan, Ngawi, Trenggalek, dan Banyuwangi, yang disebutkan Soerojo di buku itu, betul adalah orang PKI. "Tapi saya bukan orang PKI, melainkan PNI," kata Soendoro. Memang pada 1963, Soendoro yang Ketua I PNI Jawa Timur itu, pernah mendapat instruksi dari pucuk pimpinan PNI waktu itu, Ali Sastroamidjojo dan Surachman, agar ia bekerja sama dengan PKI. "Tapi itu saya tolak tegas," katanya. Ia memilih bergabung dengan PNI pimpinan Osa Maliki dan Oesep Ranuwidjaja yang dikenal waktu itu sebagai PNI Osa-Oesep. Dan setelah masa jabatan bupatinya habis, 1968, ia diangkat menjadi anggota DPR mewakili PNI, sampai 1971. "Untuk menjadi anggota DPR waktu itu, saya sudah diseleksi ketat dari keterlibatan dengan G30-S/PKI," kata Soendoro. Karena sikapnya yang tak mau dekat dengan PKI, pada Januari 1965, Ketua PKI Nganjuk, Soekardjiman, menudingnya di depan umum sebagai bupati "Nekolim" (neo kolonialisme-imperialisme). Soendoro pun menuntut Soekardjiman di pengadilan setempat. Pada sidang perkara itu, massa PKI membanjiri Pengadilan Negeri Nganjuk dan menteror Soendoro dengan teriakan-teriakan, "bupati Nekolim". Malah rumahnya pun dicorat-coret massa PKI. Perkara itu tak sempat diputus pengadilan karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI. Soekardjiman sendiri sejak itu menghilang, maka perkaranya hilang begitu saja. Soegiarso Soerojo, 57 tahun, bekas perwira intelijen yang kini menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Majalah Sarinah itu, membantah ia pernah menyebut nama Soeroso Hardjoamidjojo dalam bukunya, maupun dalam wawancara dengan wartawan. "Saya hanya menuliskan Bupati Nganjuk. Kapan saya menyebut nama Soendoro? Saya kenal dia saja tidak, buat apa saya memfitnahnya?" ujar Soegiarso Soerojo kepada wartawan TEMPO Gunung Sardjono. Sebetulnya, 29 September yang lalu, Soendoro sudah mengirim surat kepada Soegiarso Soerojo. Surat tiga halaman itu menjelaskan peranannya pada 1963, dan membantah tulisan Soegiarso di dalam buku SMAAMB. "Pada pokoknya, surat itu meminta agar soal ini diselesaikan secara kekeluargaan," kata Soegiarso. Ia heran mengapa sekarang soal ini sampai di pengadilan. Pada 7 Oktober, Soegiarso membalas surat itu. "Saya minta maaf serta bersedia menghapus dan meralat soal itu," ujar Soegiarso. Tapi kebetulan pada saat itu SMAAMB cetakan kedua -- September 1988 -- sudah selesai dikerjakan. Maka Soegiarso membuat ralat di secarik kertas yang ditempelkan pada halaman pertama buku yang sekarang sudah beredar. Sejumlah buku cetakan pertama (Mei 1988) yang belum terjual di toko buku Gunung Agung, Kwitang, Jakarta Pusat, juga ditempeli kertas ralat itu. Menurut rencana Soegiarso, pada cetakan ketiga nanti -- kini sedang diproses kata-kata "Bupati Nganjuk" itu akan dihapuskan. Sejumlah ralat lain juga disertakan. Kalimat yang menyebutkan bahwa Mohamad Hatta pernah dipecat oleh Stalin dari keanggotaan Komunisme Internasional karena dianggap revisionis, juga dicabut. Kalimat lain yang mengatakan bahwa Sneevliet, pendiri PKI di Indonesia, itu pernah menjadi anak buah Tan Malaka di Hong Kong, juga masuk daftar ralat. Sekalipun demikian, hak Soendoro untuk menggugat, tetap ada. "Sekarang semua sudah kepalang basah, tunggu sajalah nanti di pengadilan," ujar Soegiarso, bekas pemimpin harian Angkatan Bersenjata yang 28 September lalu mendapat penghargaan sebagai penegak pers Pancasila dari PWI itu.
BPP00002148 | 320.532 SOE s | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain