Text
Memetakan masa lalu Aceh
Sultana Tak Suka Permata
SULTAN Iskandar Muda gemar permata. Selain simbol kekuasaan dan kekuatan, permata dipercaya memiliki kesaktian. Permata juga merefleksikan kejayaan dan kekayaan kerajaan. Sultan mempekerjakan lebih dari 300 pandai emas, dan secara pribadi memiliki tiga berlian besar seberat antara 12-20 karat, beberapa batu manikan, dan sebuah zamrud yang diperoleh ketika menaklukkan Perak.
Penggantinya, Sultan Iskandar Tsani, punya kegemaran yang sama. Peter Mundy, pelancong Inggris, yang pernah beraudiensi, mengamati bahwa Sultan mengenakan baju yang biasa saja tapi penuh dengan berlian dan permata. Singgasananya juga dihiasi berbagai permata yang diperkirakan bernilai 40 bihar emas batangan atau sekira 100.000 gulden.
Kegemaran Sultan akan permata membuat orangkaya kurang senang. “Sultan Sri Alam (Iskandar Muda) tewas dibunuh, dan Iskandar Tsani kemungkinan besar diracun, karena membuang-buang kekayaan kerajaan untuk pembelian barang-barang yang tidak berguna, seperti berbagai perhiasan untuk menaikkan status dan ego mereka,” tulis Sher Banu AL Khan dalam “Urusan Permata: Sultana, Orang Kaya, dan Utusan Belanda”, termuat dalam Memetakan Masa Lalu Aceh.
Para orangkaya berharap Sultan berikutnya tak mengikuti jejak pendahulunya. Namun ada masalah yang jauh lebih mendesak: siapa penganti Iskandar Tsani yang wafat pada 1641 tanpa meninggalkan ahli waris.
Tak mudah mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Iskandar Tsani sendiri –nama aslinya Putra Bungsu–anak Sultan Ahmad dari Pahang, yang dibawa Sultan Iskandar Muda sebagai tawanan setelah Aceh menyerang sepanjang pantai barat Semenanjung Malaya dan Pahang. Dia kemudian menjadi anak angkat sekaligus menantu Sultan Iskandar Muda setelah menikahi Putri Safiah.
Terjadilah perdebatan. Kaum ulama tak setuju jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Syekh Nuruddin Ar-Raniry, ulama besar yang tak lain guru Putra Bungsu dan Putri Safiah, menolak argumen kaum ulama. Akhirnya, untuk kali pertama, para ulama menegaskan bahwa secara hukum perempuan boleh menjadi raja asal memenuhi syarat-syarat keagamaan, akhlak, dan ilmu pengetahuan.
Putri Safiah memenuhi kriteria. Sejak usia tujuh tahun, dia belajar kepada ulama-ulama besar seperti Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, dan Syekh Kamaluddin. Setelah selesai pendidikannya, Putri Safiah menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan bahasa seperti bahasa Arab, Persia, dan Spanyol. Dia juga menguasai ilmu fikih (hukum) termasuk hukum tatanegara, sejarah, mantik (logika), falsafah, tasawuf, dan sastra.
Pertimbangan lainnya, ujar Jean Gelman Taylor, sejarawan University of New South Wales, Sydney, Australia, “Aturan perempuan akan lemah dibandingkan dengan aturan despotik dua sultan sebelumnya,” ujarnya. Para orang kaya dapat memainkan peranan dalam mempengaruhi kebijakan Sang Ratu. Selain itu, penguasa perempuan cenderung tak akan menghamburkan kekayaan kerajaan.
Dengan suara bulat, Putri Safiah diangkat menjadi Sultana Aceh pada 1641 dengan gelar Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin.
Di Balik Tirai
Sejak menjadi Sultana, Safiatuddin tak pernah muncul di depan publik. Dia lebih banyak bersembunyi di balik tirai. Sultana biasanya menyampaikan keputusannya dalam bentuk surat berstempel atau secara lisan kepada beberapa kasim, orang-orang kepercayaan di sekelilingnya yang memberikan saran. Jika ada urusan dengan ratu, orangkaya akan menyampaikan keperluannya kepada penasihat ratu. Apabila ratu mengizinkan, dia akan mengirimkan chopp (cap) kepada mereka sebagai tanda permintaannya diterima.
“Karena tak ada yang bisa melihat atau mendengar suaranya,” ujar Gelman Taylor, “beberapa orang Eropa mengaku tidak ada seseorang di balik tirai dan bahwa para kasim dan orangkaya benar-benar memerintah kesultanan.”
Meski menjalankan pemerintahan di balik tirai, umumnya orang-orang Eropa yang mengunjungi Aceh pada abad ke-17 memuji aturan-aturan Sultana yang memungkinkan perdagangan internal dan eksternal berkembang. Sultana juga toleran kepada orang asing dan semua agama, serta cerdas dalam berbisnis –seperti terlihat dalam negosiasi permata dengan utusan Belanda.
Sebelum wafat, Iskandar Tsani memesan beberapa permata kepada Belanda. Ketika tiba di Aceh dengan membawa pesanan permata itu senilai sekira 6.834 tael, Komisaris Justus Schouten berhadapan dengan Sultana. Namun Sultana hanya mau membayar dengan harga 5.025 tael, dan menolak sisanya. “Alasannya masuk akal, bahwa mendiang suaminya adalah orang yang terlalu boros, sehingga kas negeri menipis. Apalagi, semua permata dan aksesoris tersebut didesain khusus untuk baju raja dan tentunya tidak cocok dipakai wanita,” tulis Sher Banu
Pengganti Schouten adalah Komisaris Pieter Sourij. Alih-alih membujuk Sultana agar membayar sisa permata yang dibawa Schouten, dia membawa permata baru senilai 15.000 tael. Pada 12 Juli 1642, Sourij terkejut karena Sultana bersedia membeli permata itu atas persetujuan orangkaya. Namun, setelah ditaksir juru permata istana, harganya tak masuk akal bagi Belanda, yakni 5.900 tael. Sourij protes dan menuding juru permata tak mengerti permata atau sengaja tak mengemukakan harga sebenarnya.
Setelah kasim Maradina Adonna Lilla menghadap Sultana, ditawarkanlah harga tambahan sebesar 2.000 tael. Namun, dengan nada marah Sourij tetap menolaknya.
Di antara orangkaya terjadi perbedaan pendapat mengenai pembelian permata dan Maradina Adonna Lilla jadi penengahnya. Maradia Sri Maradia dan pengikutnya, Panglima Dalam, menentang pembelian permata; sedangkan Lebe Kita Kali dan pengikutnya, Maradia Sestia, menerima permata dengan harga yang layak demi mempertahankan persahabatan Aceh dengan Belanda. Lebe Kita Kali membujuk Sourij agar menurunkan harga dan berhasil. Sourij mengajukan harga 12.000-13.000 tael.
Pada hari audiensi, Maradia Adonna Lilla yang mewakili Sultana menaikkan tawaran menjadi 9.000 tael dengan alasan perhatian dan rasa hormat Aceh kepada Belanda dan Gubernur Jenderal. Belum sreg, Sourij menurunkan harga menjadi 10.000 tael. Tawar-menawar buntu.
Pada hari audiensi berikutnya, Sultana tetap pada penawarannya. Sementara Sourij bersikukuh jika menerima sejumlah itu, dia tak berani pulang ke Batavia menghadap Gubernur Jenderal. Akhirnya, meski diprotes beberapa orangkaya, Sultana menerima harga 10.000 tael. Pembayarannya: 4.000 tael dengan bea masuk kapal Belanda, dan sisanya 6.000 tael akan dibayar dalam dua musim.
Goyangan Belanda
Kisah permata pesanan Iskanda Tsani belum berhenti di sini. Kecewa karena terus membayar bunga pembelian permata selama tiga tahun, Gubernur Jenderal mengutus seorang komisaris yang lebih tegas dan berwibawa, Arnold de Vlamingh van Oudtshoorn, ke Aceh. Vlamingh harus menjual lima berlian besar seharga 8.500 tael pesanan Iskandar Tsani; yang sedianya 7.000 tael dibayar dengan uang kas dan emas, 500 tael dengan barang-barang dagangan, dan 1.000 tael dipotong bea masuk. Vlamingh berjanji akan berjuang sekuat tenaga kalau perlu hingga mati di Aceh.
Begitu mendarat di Aceh pada 13 Juli 1644, seketika dia kecewa karena Sultana sedang berkelana –kemungkinan berburu. Meski Sultana kembali empat hari kemudian, Vlamingh dijadwalkan bertemu Sultana pada awal Agustus. Selama menunggu, dia melobi dan memberikan hadiah uang kepada para orangkaya yang berpengaruh. Upayanya gagal. Para orangkaya menceramahi Vlamingh bahwa Aceh tak lagi membutuhkan permata. Vlamingh merasa harapannya menjual permata sirna.
Setelah satu setengah bulan menunggu, Sultana meminta Vlamingh membawa permata-permata tersebut ke istana. Vlamingh marah ketika para ahli permata istana menaksir permatanya seharga 3.000 tael.
Menyadari jalan buntu, Vlamingh dibantu pedagang senior Belanda di Aceh, Hermanszoon, mendekati Maradia Adonna Lilla. Pada hari audiensi, 11 September, Sultana tetap pada penawarannya, meski akhirnya menaikkan jadi 4.000 tael.
Vlamingh kembali mendekati Maradia Adonna Lilla dan sepakat menurunkan tawaran menjadi 6.000 tael, di mana Belanda meminta 2.000 tael dibayar tunai dan sisanya dengan hasil timah dan potongan bea masuk. Atas kesepakatan yang hanya diketahui berdua itu, Vlamingh menghadiahi sang junuh sebuah cincin permata zamrud kotak senilai 268 gulden, satu dari banyak cincin yang dipesan Iskandar Tsani dan tak laku dijual.
Akhirnya, pada 20 September 1644, Sultana menyetujui harga 6.000 tael; 1.000 tael dibayar tunai dan sisanya dibayar dalam tiga tahun. Untuk mengendorkan ketegangan akibat negosiasi yang lama, Sultana meminta utusan Belanda itu menari di hadapannya dan para dayang-dayang istana. Vlamingh melaporkan, seperti dikutip Sher Banu, “ratu dan para dayangnya sangat menikmati ‘goyangan Belanda’ dan suasana istana penuh dengan tawa dan teriakan.”
Kegemilangan Sultanah Safiatuddin dalam negosiasi permata menambah catatan manis masa pemerintahannya sebelum wafat pada 23 Oktober 1675
BPP00002120 | 959.802 MIC m | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
BPP00002121 | 959.802 MIC m | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain