Text
Nasution, dwifungsi ABRI dan kontribusi ke arah reformasi politik
Peran tentara memang tidak bisa terlepas dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia karena pada faktanya mereka-lah yang merupakan ujung tombak kedaulatan dan memperjuangkan kebebasan dari penindasan penjajah di masa lampau. Transformasi lembaga militer di Indonesia pada era pasca kemerdekaan sangat dinamis, contohnya saja kehadiran TKR yang selanjutnya berubah menjadi TRI, AURI, ALRI, dll. Sejak awal berdirinya Republik Indonesia sendiri sebenarnya para perwira militer sudah mempunyai kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit revolusioner . Pada bulan Juli 1958, militer diakui sebagai kekuatan politik dan tidak sedikit dari mereka yang mampu menempati singgasana-singgasana birokrat dan terjun dalam politik kenegaraan.
Dengan meletusnya kudeta Gerakan 30 September PKI, peran serta militer dalam dunia politik semakin mantap. Hal ini
berkaitan dengan fakta bahwa ABRI sendiri sebenarnya sejak awal sangat menentang kehadiran PKI yang mereka nilai sebagai ancaman yang sangat potensial terhadap kelangsungan bangsa terkait dengan sifatnya yang Atheis, Non-Nasionalis, Komintern, dan menganut doktrin perjuangan kelas yang saelalu mengadu domba/memecah belah, hal ini tentunya melanggar prinsip persatuan yang diusung oleh Pancasila . Kudeta tersebut merupakan pukulan keras bagi Presiden Soekarno yang mana pada masa sebelumnya telah menunjukkan sikap dukungan dan terkesan melindungi eksistensi PKI sendiri. Kemudian, hal tersebut berlanjut dengan dikeluarkannya “Supersemar” yang menandakan turunnya Soekarno dari jabatan kepresidenan dan digantikan oleh Menteri Panglima Angkatan Darat Soeharto yang notabene memiliki latar belakang militer yang kental, maka tidak heran apabila sepak terjang ABRI dalam sektor politik semakin pesat di era-era berikutnya.
Dari asumsi di atas, ABRI sebenarnya memiliki dua peranan yang cukup signifikan dan seringkali dikenal dengan “dwifungsi ABRI”, yakni selain sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, ABRI juga merupakan kekuatan sosial-politik . Istilah dwifungsi yang menjadi dasar legitimasi bagi peran sosial-politik angkatan bersenjata sendiri mulai berkembang dan populer pada masa Orde Baru. Ini diawali dari konsepsi Nasution tentang “Jalan Tengah” ABRI pada 1958, yang intinya tentang pemberian kesempatan kepada ABRI, sebagai salah satu kekuatan politik bagsa untuk berperan serta di dalam pemerintahan atas dasar “Asas Negara Kekeluargaan” . Ditambah lagi dengan fakta pada Agustus tahun 1966, ABRI menyatakan kepeduliannya untuk ikut mengatasi tiga masalah nasional, yakni stabilitas sosial politik, stabilitas sosial ekonomi, dan kedudukan serta peran ABRI dalam revolusi Indonesia sebagai kekuatan revolusi, alat penegak demokrasi dan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara . Dengan kata lain, ABRI ingin mengutarakan etikatnya untuk tidak sekedar berperan dalam dunia militer-hankam saja, namun meluas pada bidang sosial-politik karena keduanya saling berkesinambungan.
BPP00002066 | 923.5 HEN n | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain