Text
Toponim Berlatar Rempah-Rempah di Jepara dan Semarang
Bukan hanya tamu asing de Haen (1622 dan 1623), Jan Vos (1624), Pieter Franssen (1630), serta Rijckloff Volkertsz van Goens (1648-1653) yang terkagum akan pesona bandar berikut hamparan hijau persawahan di Jawa. Saat menulis dalam keheningan, kami memahami "kekonyolan" bangsa asing menyabung nyawa membelah birunya samudera demi mendatangi pelabuhan Jepara dan Semarang. Rempah-rempah dipandang sebagai "harta karun" oleh rombongan pelayar asing lantaran harganya melangit dan di belahan Eropa tak dirimbuni tumbuhan penghasil rempah. Kondisi inilah yang juga mendorong lahirnya eksploitasi dan pertumpahan darah, menambahi amisnya aroma air laut. Sementara di mata warga setempat, rempah dianggap sedulur sinarawedi (saudara) karena acap mengawani dalam kehidupan sehari-hari. Lekatnya relasi masyarakat lokal dengan rempah terejawantahkan lewat toponim. Semarang, Ngasem, Kunir, Kuniran, Ujung Kunir, Mrican, Cabean, Karangasem, Jetis, dan lainnya merupakan sederet nama wilayah yang dicomotkan dari unsur rempah. Kearifan lokal masyarakat diunduh dari penelusuran toponim berbasis rempah-rempah ini, yaitu manusia musti hamangku bumi.
BPP00010870 | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain