Text
Freeport: bisnis orang kuat vs kedaulatan negara
Ferdy Hasiman selaku peneliti dan penulis isu-isu terkait pertambangan meluncurkan buku terbarunya berjudul “Freeport: Bisnis Orang Kuat vs Kedaulatan Negara.” Acara peluncuran buku setebal 367 halaman tersebut digelar di Hotel Century Park, Jakarta Pusat, Senin 28 Januari 2019.
Buku ini yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas itu mengulas Freeport, baik dari sudut pandang sejarah, analisis finansial (kinerja), hubungan Freeport-Negara, Freeport-Papua dan rantai bisnis pengusasa-pengusaha yang selama ini dekat dengan akses kekuasaan.
Ferdy menguraikan dalam bukunya bahwa sejak Kontrak Karya yang ditandatangani pada 1967, tambang raksasa yang menambang emas dan tembaga di Grasberg, Papua itu dengan bebas melakukan ekspansi bisnis dan mengeksplorasi tembaga dan emas.
Kontrak Karya, menurut Ferdy adalah sesuatu yang luxury bagi Freeport, menjadi alat hukum untuk mendulang banyak uang dari tembaga dan emas di Earstbrg, Grasberg dan tambang underground.
Tidak hanya Freeport sendiri, urai Ferdy, banyak pengusaha-pengusaha domestik, mulai era Orde Baru hingga reformasi sekarang berebutan menjadi partner bisnis dengan Freeport, di mana mereka terlibat dalam bisnis jasa memasok Bahan Bakar Minyak (BBM), bahan peledak, jasa pembangunan pelabuhan sampai catering.
“Pengusaha-pengusaha lokal ini termasuk orang-orang kuat yang memiliki akses dengan kekuasan dan partai politik. Selain itu, Freeport juga ditopang oleh kekuatan global dan negara asalnya, Amerika Serikat,” kata Ferdy.
Itulah sebabnya, menurut Ferdy mengapa setiap pemerintahan yang mencoba melakukan renegosiasi kontrak dengan Freeport, mulai dari menaikkan penerimaan negara, pengurangan lahan, perpanjangan kontrak, pembangunan smelter dan divestasi saham selalu sulit.
Menurut Ferdy, hanya pemerintahan yang kuat dan berdaulat yang mampu melakukan renegosiasi kontrak dengan Freeport dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Ferdy menilai, langkah Presiden Jokowi yang berani mengubah KK menjadi IUPKI merupakan babak baru bagi Freeport dan babak baru bagi pemerintah Indonesia dan Papua.
“Papua mendapat ruang untuk mendapat 10 persen saham di Freeport dan pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Alumina (INALUM) mengontrol 41 persen saham Freeport. Dengan komposisi itu, pemerintah Indonesia kemudian mengontrol 51 persen saham,” jelas Ferdy.
Ferdy menyebut Presiden Jokowi memiliki kepedulian besar mengembalikan kedaulatan tambang dan peduli terhadap nasib BUMN tambang.
“Divestasi saham Freeport bukan pekerjaan mudah bagi Jokowi. Selain alotnya negosiasi dengan Freeport yang tak mau mengubah KK menjadi IUPK, Jokowi harus berhadapan defisit APBN akibat impor migas (bensin) terlalu besar (49% per Agustus, 2018),” katanya.
Proses politik di DPR, kata Ferdy, juga tak membantu dalam proses divestasi. Meski di sana-sini DPR berteriak agar pemerintah segera menuntaskan divestasi Freeport. DPR tak mendukung pengalihan saham perusahaan asing ke perusahaan-perusahaan BUMN dengan alasan injeksi modal ke BUMN menimbulkan defisit APBN.
“Padahal, tugas menutup defisit APBN adalah pekerjaan bersama DPR dan pemerintah,” katanya.
Ferdy juga menjelaskan, DPR tidak memiliki politik konstitusional jelas dalam divestasi, hal yang kemudian membuat presiden bersama menteri-menterinya mencari cara lain mendapat saham Freeport, yaitu melakukan divestasi dengan mekanisme korporasi.
Sebelum membeli 51 persen saham Freeport kata Ferdy, perusahaan tambang BUMN telah melakukan konsolidasi dengan membentuk perusahaan holding (PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk dan PT Bukit Asam Tbk), yang jika digabung, total aset INALUM sebesar Rp 86 triliun.
Dengan total aset yang begitu besar, memudahkan INALUM mendapat pinjaman bank dan melakukan ekspansi bisnis. Dengan cash flow (arus kas) anak usaha (PTBA 2018 Rp 4.45 triliun, PT Timah 1.29 triliun) yang besar, juga memudahkan INALUM membeli saham Freeport.
Dengan membeli 51 persen saham Freeport, total aset INALUM menjadi Rp180 triliun. Menurut Ferdy, dana pinjaman untuk membeli saham Freeport akan tertutup oleh laba bersih Freeport yang rata-rata di atas US$ 2 miliar per tahun setelah 2022.
“Apalagi, tambang underground (93% total cadangan Freeport di underground) mulai berproduksi tahun 2019,” kata Ferdy.
Nilai pasar (market value) INALUM mencapai US$15miliar jika sukses mengontrol 51 persen saham Freeport. Nilai pasar seperti itu sudah cukup menempatkan INALUM sejajar dengan raksasa-raksasa tambang dunia, seperti Freeport McmoRRan (induk usaha Freeport) yang memiliki nilai pasar sebesar US$20.9 miliar.
Angka itu memang jauh dibawah raksasa tambang dunia, Rio Tinto Plc dengan nilai pasar sebesar US$86.55 miliar. Karena itu, ia menekankan, keputusan pemerintahan Jokowi sangat penting bagi masa depan pertambangan kita.
“Indonesia memiliki cadangan mineral berlimpah, berupa emas, tembaga, nikel, dan batubara yang melimpah. Namun, yang mengontrol pasar nikel, bauksit, tembaga dan batubara, bukan perusahaan BUMN, tetapi perusahaan-perusahaan asing dan group lokal besar,” katanya.
Selama bertahun-tahun, ungkap dia, tak ada sesuatu yang bisa kita banggakan dari perusahaan-perusahaan BUMN, di mana BUMN tambang tak bisa diandalkan meningkatkan penerimaan negara, karena dividen kecil dan tak profitable. Korporasi asing-domestik justru yang menjadi penopang penerimaan negara dari sektor tambang.
Mereka juga ikut menentukan maju-mundurnya proyek hilirisasi mineral, yang kemudian berdampak pada ketidakkonsistenan pemerintah menerapkan pelarangan ekspor mineral mentah.
Mahfud MD, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2013 yang menulis kata pengantar untuk buku ini menyebut Ferdy adalah salah satu dari sedikit orang yang tekun menelisik, mendalami dan kemudian mengurai masalah Freeport, dengan membaca banyak dokumen, melakukan wawancara, mengobservasi lapangan, menganalisis data dan menulis secara berseri di harian Kompas dan forum-forum lainnya untuk memberi informasi sekaligus mendapatkan feedback.
“Ferdy dapat dipandang sebagai orang yang tahu tentang Freeport dengan segala dimensi persoalannya,” tulis Mahfud.
Ia menambahkan, yang diuraikan Ferdy dalam bukunya “bukan soal sepele, melainkan soal-soal yang selama ini menjadi pertanyaan atau misteri bagi banyak orang, yakni masalah kehadiran Freeport yang ternyata menjadi rumit karena melibatkan pebisnis kuat sehingga rentan mereduksi kedaulatan negara.”
Ia menyebut kehadiran buku ini kayak diantarkan ke tengah-tengah masyarakat Indonesia yang ingin tahun masalah Freeport secara komprehensif.
Sementara itu, Adnan Topan Husodo, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut “buku ini menyuguhkan informasi yang sangat detail bagaimana praktik dan tarik-menarik kekuasaan untuk mendapatkan pengaruh paling besar sehingga dapa mengendalikan surga sumber daya alam terbesar di Indonesia, yakni tambang emas yang kemudian dikontrol sepenuhnya oleh PT Freport.
“Kronologis dan analisis yang disajikan dalam buku ini menambah referensi cukup signifikan tentang bagaimana logika kekuasaan dengan berbagai cara bekerja untuk mengontrol sepenuhnya sumber daya alam yang paling memikat di eranya,” kata Adnan.
BPP00009057 | 332.609598 FER f | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain