Text
Di balik remitansi: realitas pelanggaran HAM terhadap Buruh Migran Indonesia
Buku “Di Balik Remitansi: Realitas Pelanggaran HAM terhadap Buruh Migran Indonesia” merupakan karya terbaru aktivis buruh migran indonesia, Anis Hidayah. Buku terbitan KPG (2019) tersebut bersumber dari kumpulan artikel Anis Hidayah di berbagai media massa seperti Seperti Kompas, Jawa Pos, Koran Sindo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Koran Tempo dan Majalah Tempo.
Dipengantari Yuniyanti Chuzaifah dan mba Lia Sciortino Sumaryono, dilengkapi komentar singkat dari beberapa tokoh seperti Menlu Retno Marsudi dan mba Eva Kusuma Sundari, buku ini menjadi salah satu yang paling otoritatif dalam membincang persoalan buruh migran indonesia khususnya dari perspektif HAM. Buku ini akan memberi kontribusi pada wawasan yang lebih lapang dan mendalam karena ditulis oleh Anis Hdayah yang berpuluh tahun bekerja mendampingi dan mengadvokasi masalah-masalah buruh migran indonesia.
Tulisan-tulisan pada keseluruhan bab dalam buku ini merupakan ekspresi kegelisahan, amarah, geregetan, desakan melihat korban dan tingkah polah pemilik otoritas yang tak kunjung menunjukkan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan dari akarnya.
*
Penulis buku ini telah bekerja untuk buruh migran sejak tahun 1996 ketika masih kuliah di Universiatas Jember. Ia tergugah melihat berita koran tentang PRT migran asal Jember yang menjadi korban perkosaan di Saudi Arabia yang tidak mendapatkan keadilan. Kisah itu seperti melempar Anis ke masa kecil, dimana ia bermain dengan anak-anak sebaya yang mayoritas orang tuanya ke Malaysia dan Saudi Arabia. Mereka diasuh oleh kakek neneknya.
Di Kampung halamanya, dusun Bendo desa Sidorejo Kec Kedungadem Bojonegoro, merupakan desa sangat miskin, mayoritas petani dan buruh migran.
“Tetangga dekat saya semuanya buruh migran. Rumah-rumah mereka terbuat dari rakitan bambu dan berlantai tanah, Malaysia dan Saudi menjadi tumpuan kehidupan mereka, karena panen padi di kampung hanya bisa sekali setahun (sawah tadah hujan). Mengingat itu semua, rasanya berkemacuk semua perasaan. Dan itu menjadi dorongan kuat bagi saya kala itu untuk bergabung dalam Solidaritas Perempuan di Jawa Timur pada tahun 1998.” Ungkap Anis Hidayah.
Memoar Luka Buruh Migran
Ketika Migrant CARE didirikan pada tahun 2004, Anis menjadi salah satu pendirinya. Ia mempunyai mimpi besar untuk memperbaiki nasib buruh migran, terutama buruh migran perempuan.
Nirmala Bonat adalah kasus pertama yang ditangani Migrant CARE pada tahun 2004. Pada medio Mei 2004, masyarakat Indonesia terguncang dengan kabar seorang gadis yang hampir tidak bisa dikenali karena luka menganga di seluruh tubuhnya, kedua payudaranya, kedua pahanya, punggunya penuh luka dengan gambar setrika.
Peristiwa tragis dan memilukan itu membuat shock, terlebih penulis buku ini ketika itu berkesempatan untuk mendampingi secara langsung di Kualalumpur.
“Saya tidak bisa lupa aroma lukanya, lekat dalam jiwa saya. Manusia semacam apa Yim Pek Ha (majikan Nirmala) yang tega menganiaya manusia lainnya. Air mata saya bahkan menetes di keyboard komputer saat mengetik kalimat ini. Saat mendampingi Nirmala Bonat, saya juga memanfaatkan untuk melihat secara lebih dekat kasus-kasus lain yang ada di shelter KBRI kala itu, tepatnya gudang bukan shelter. Ratusan gadis ada di beberapa kamar belakang KBRI, aroma anyir menyengat. Saya dekati satu-satu, tidak hanya memasang telinga, tapi jiwa saya juga berlabuh bersama mereka. Banyak yang sakit kelamin karena menjadi korban trafficking yang dijadikan pekerja seks, namun tidak memperoleh perawatan signifikan. Banyak yang sakit kuning dan bahkan ada yang meninggal karena sakit tak kunjung diobati.” Kenang Anis Hidayah.
Anis bersama pak Alex ( Migrant CARE Malaysia) kala itu menuliskan semua yang lihat dan dengar, ia mengirim surat ke menteri kesehatan Malaysia, ke Parlemen Malaysia dan konferensi pers.
Rusdi Hardjo, Duta Besar RI untuk Malaysia kala itu marah besar dan mengatakan bahwa KBRI bukan puskesmas. Namun Tuhan berkata lain, KPK akhirnya membawanya dua tahun penjara karena menerima suap perpanjangan paspor buruh migran. Majikan Nirmala Bonat akhinya di vonis 12 tahun setelah proses hukum selama 8 tahun, entah berapa kali Migrant CARE berdemo di depan Keduataan Malaysia di Jakarta.
Tak berselang lama, Ceriyati juga mengalami hal serupa di negeri Jiran, ditemukan bergelantungan di lantai 7 setelah mencoba lari dari lantai 23 dengan kain yang diikat, namun nyangkut di lantai 7. Muka dan bibir Ceriyati luka menganga karena, setiap majikannya selesai menyiksa, selalu dilumuri garam. Tak bisa dibayangkan perihnya. Mendampingi Ceriyati menjalani proses hukum di Malaysia kala itu setiap malam membuat Anis menangis, “saya simpan air mata saya untuk malam hari, karena siang harinya bersama Ceriyati dan keluarganya (anak sulungnya autis, anak bungsunya perempuan 4 tahun).” Kenangnya.
Tak terhitung, berapa kasus yang telah ditangani Anis bersama kolega di lembaga Migrant CARE yang ia ikut dirikan, dan selalu, dalam situasi tidak mudah. Marah, sedih, dan harus bicara dengan pengambil kebijakan yang bebal.
BPP00009053 | 341.48 ANI d | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain