Text
Melacak sejarah kuno Indonesia lewat prasasti
Sejarah bisa punah jika orang sudah tak mau membaca dan mengisahkan. Para leluhur berpesan, sejarah adalah hikmah. Sejarah memuat pelajaran-pelajaran hidup tentang politik, ekonomi, sosial, seni, agama, teknologi, bahasa, pakaian, seks, rumah. Sejarah-sejarah terwariskan, diturunkan ke zaman-zaman berbeda, ke generasi-generasi baru. Kita mengenali dan menemukan warisan sejarah dalam bentuk prasasti, candi, kakawin. Sejarah masih awet dengan pembacaan, pengisahan, penulisan.
Boechari (24 Maret 1927?28 Mei 1991) melalui buku Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti membuktikan ketekunan melacak sejarah, menafsirkan, dan menjelaskan untuk publik. Buku ini memuat tulisan-tulisan penting mengenai pelbagai hal di arus sejarah masa lampau. Kita bakal menemukan tafsiran-tafsiran impresif, mengingatkan tokoh dan peristiwa di masa silam. Tulisan-tulisan Boechari adalah ikhtiar membuka tabir kegelapan sejarah.
Boechari sebagai pakar epigrafi dan sejarah kuno memilih mengajukan pembacaan-penafsiran sejarah bersumber ke prasasti. Prasasti adalah sumber-sumber sejarah dari masa lampau, tertulis di atas batu dan logam. Sekian prasasti dikeluarkan oleh raja. Prasasti memuat penjelasan-penjelasan tentang kekuasaan, hukum, peristiwa-peristiwa penting. Boechari membaca tulisan-tulisan di prasasti, ditafsirkan untuk merekonstruksi masa silam. Sejarah perlahan terbaca meski seribu misteri masih harus dijelaskan.
Pekerjaan ahli epigrafi memberi rujukan bagi ahli sejarah dalam menerangkan masa silam. Boechari mengingatkan ahli sejarah tida bisa mengharapakan keterangan-keterangan lengkap di prasasti. Mereka harus membuat rekonstruksi dengan melibatkan sekian referensi, menguatkan dan mengajukan argumentasi tentang kebenaran sejarah. Prasasti adalah referensi. Tulisan-tulisan di prasasti sebagai keterangan zaman turut menentukan kebenaran sejarah meski sering berselubung misteri.
Kepakaran Boechari adalah minoritas di Indonesia. Ahli epigrafi jarang muncul di Indonesia selama puluhan tahun. Hal ini seolah mengabarkan dunia epigrafi adalah dunia sepi, bergerak di tepian zaman. Boechari menjelaskan bahwa ahli epigrafi pertama di Indonesia adalah Poerbatjaraka (1884-1964).
Pekerjaan membaca-menafsirkan prasasti sudah dimulai sejak tahun 1920-an. Poerbatjaraka tampil sebagai perintis epigrafi di saat dominasi sarjana asing mempengaruhi lacak sejarah di Indonesia. Poerbatjarka sering menggugat dan mengugurkan penjelasan-penafsiran prasasti di kalangan sarjana asing. Kejelian dalam membaca dan argumentasi diajukan agar publik tak tersesat dengan klaim kebenaran oleh para ahli epigrafi.
Boechari adalah generai lanjutan dari dunia minoritas para ahli epigrafi di Indonesia. Boechari rajin melakukan penelitian dan publikasi tulisan berkaitan epigrafi. Tulisan tentang prasasti sebagai rujukan mengenang sejarah Mataram menjadi bukti kepakaran dan ketelatenan menghadirkan epigrafi ke sidang pembaca. Nama Mataram dimulai sejak tahun 717 M di masa pemerintahan Sanjaya. Raja ini bergelar Rakai Mataram.
Prasasti Wwhan memuat penjelasan: penggunaan nama Mataram masih berlku sampai tahun 985 M. Daftar nama raja-raja di Mataram tercantum di prasasti Wanua Tenah III dan prasasti Mantyasih. Boechari menginformasikan bahwa di prasasti-prasasti itu mengandung informasi penting untuk mengetahui model dan situasi kekuasaan di zaman Mataram Kuno.
Buku Melacak Sejarah Kuno lewat Prasasti memang memuat informasi-informasi penting dalam merekonstruksi sejarah di Indonesia. Publik mungkin tak akrab dengan dunia epigrafi untuk menelisik episode-episode sejarah. Dunia epigrafi memang pelik. Boechari justru ingin mengundang publik mengkarabi sejarah melalui uraian-uraian bersumber dari prasasti. Publik awam lumrah jika harus termenung di halaman-halaman buku meski ada hasrat menguak sejarah. Buku ini persembahan penting untuk ikhtiar membuka tabir sejarah di Indonesia. Begitu.
Tidak ada salinan data
Tidak tersedia versi lain