Text
Utang pemerintah mencekik rakyat
Salah satu ciri umum Negara Sedang Berkembang (NSB) adalah terjebak pada utang luar negeri yang jumlahnya besar. NSB umumnya tidak memiliki modal awal yang cukup untuk memulai melakukan pembangunan ekonomi, setelah sebelumnya dijajah oleh negara-negar barat dalam periode yang panjang. Nah, dari sinilah NSB mengenal utang luar negeri. Sebagaimana umumnya NSB, Indonesia mengalami hal serupa, terjebak dalam perangkap utang luar negeri. Bahkan sejak awal kemerdekaan, Indonesia sudah diwarisi utang oleh pemerintah kolonial Belanda sebesar USD 4 miliar, sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Tradisi pewarisan utang yang dimulai oleh pemerintah Kolonial Belanda terus berlangsung sampai saat ini. Pemerintahan era Seokarno mewariskan utang luar negeri (ULN) sekitar USD 2,1 miliar, kepada pemerintahan Soeharto. Periode selanjutnya, pemerintahan Soeharto mewariskan utang kepada pemerintahan Habibie sebesar USD 60 miliar. Pemerintahan Habibie bisa dikatakan spektakuler dalam mewariskan utang, dalam waktu 2 tahun ULN menjadi USD 75 miliar, dan ditambah UDN sebesar USD 60 miliar.
Tulisan diatas merupakan sedikit gambaran tentang sejarah utang pemerintah Indonesia, yang merupakan isi salah satu bagian dari Buku Utang Pemerintah Mencekik Rakyat, yang ditulis oleh Awalil Rizky dan Nasyith Majidi. Utang pemerintah merupakan persoalan yang seksi, yang sering menjadi perdebatan tidak hanya oleh ahli-ahli ekonomi (ekonom), namun juga oleh politisi, aktivis LSM, dan juga aktivis gerakan mahasiswa. Pada saat penyusunan APBN, atau pada saat ada kenaikan harga BBM, banyak orang akan menengok pada pos beban utang (cicilan dan bunga utang) pemerintah. Orang kemudian akan membanding-bandingkan beban utang dengan pos-pos pengeluaran pemerintah yang lain, misalnya subsidi untuk orang miskin, anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan lain-lain. Lebih jauh, utang pemerintah tidak hanya merupakan persoalan ekonomi, melainkan juga berdimensi sosial politik yang kental. Dimensi politik menjadi penting pada negara-negara dengan ULN yang besar. Pertimbangan akan persyaratan berutang dan pengelolaannya sering menyentuh aspek psikologis dan ideologis.
Namun demikian, di Indonesia jarang sekali ditemui referensi yang secara spesifik membahas secara mendalam tentang utang pemerintah, baik utang luar negeri (ULN) maupun utang dalam negeri (UDN). Sebagai catatan, Indonesia baru mengenal UDN yang saat ini julahnya hampir sama dengan ULN, setelah krisis ekonomi 1998. Kehadiran Buku Utang Pemerintah Mencekik Rakyat ini mengisi kekosongan akan minimnya referensi tentang utang pemerintah.
Dalam buku tersebut, Awalil Rizky dan Nasyith Majidi menyebut bahwa pada tahun 2007, berdasarkan data resmi yang bersumber dari Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, beban utang yang harus dibayar pemerintah sebesar Rp.197,5 triliun. Sementara itu total utang pemerintah yang masih belum dibayar adalah sekitar Rp.1.400 triliun. Terhadap beban utang pemerintah sebesar itu, Awalil Rizky dan Nasyith Majidi menyebutkan ada dua pandangan ekstrem yang berkembang dalam menilai beban utang tersebut. Pandangan yang pertama, dimana kedua penulis menyebutnya sebagai pihak yang kritis, mereka menilai bahwa beban utang tersebut sudah terlampau besar, sehingga memberatkan APBN, memperkecil ruang fiskal pemerintah untuk menggerakkan perekonomian, mengurangi anggaran untuk mensejahterakan rakyat, dan lain-lain. Oleh karena itu, menurut pihak kritis ini, cara-cara yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan persoalan utang pemerintah adalah bukan dengan cara-cara yang biasa (bussines as usual). Sementara itu pandangan yang kedua adalah dari pemerintah dan penganut ekonomi meanstream pendukungnya, mereka menilai keadaanya tidak separah yang dikemukakan oleh pihak yang kritis. Utang pemerintah berada pada level aman jika dikelola dengan baik. Solusi dan atau kebijakan yang ambil oleh pemerintah dan ekonom pendukungnya adalah dengan mengatur arus beban utang agar optimal (optimal borrowing).
Dengan membaca judul bukunya saja, pembaca bisa dengan mudah menempatkan kedua orang penulis ini pada posisi ekonom seperti apa. Ya, kedua penulis ini bisa dikatakan sebagai kelompok ekonom kritis. Akan tetapi, jika kita membaca keseluruhan isi buku ini, akan terlihat bahwa kedua penulis ini bukanlah ekonom kritis yang emosional dalam melihat utang pemerintah. Kedua penulis juga bukan orang yang anti utang sama sekali, akan tetapi dalam batas tertentu utang bisa ditolerir jika direncanakan dan dikelola dengan benar.
Buku setebal 230 halaman ini, bisa dikatakan buku yang cukup lengkap membahas tentang seluk beluk utang pemerintah Indonesia. Buku ini membahas utang pemerintah Indonesia mulai dari teori ekonomi tentang utang pemerintah, sejarah utang pemerintah, profil utang pemerintah, beban utang pemerintah, dan masa depan utang pemerintah. Salah satu keungulan buku ini adalah dilengkapi dengan data-data resmi dari Bank Indoesia, dan Departemen Keuangan, namun dibaca dengan cara yang berbeda oleh kedua penulis, tidak sebagaimana ekonom measntream membaca data-data tersebut. Dalam bab tentang profil utang pemerintah, buku ini menyuguhkan secara cukup lengkap tentang jenis-jenis utang pemerintah, sumber utang (debitur), jenis suku bunga, dan lain-lain.
Dalam buku ini, kedua penulis mengkritik keras kebijakan dan pandangan pemerintah beserta ekonom pendukungnya yang menganggap bahwa utang pemerintah saat ini yaitu sebesar kira-kira Rp.1.400 triliun dengan beban utang sebesar Rp.197,5 triliun, adalah pada posisi aman. Ukuran-ukuran aman yang dipakai pemerintah, seperti Debt Service Ratio, Rasio ULN dengan PDB, Rasio cadangan devisa dengan ULN, dan ukuran-ukuran yang lain dibantah oleh kedua penulis dengan meyakinkan. Bagi kedua penulis, posisi utang pemerintah saat ini adalah sangat memberatkan bagi pembangunan ekonomi Indonesia kedepan.
Kedua penulis juga melihat sampai saat ini tidak ada political will dari pemerintah untuk secara sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan utang pemerintah yang sudah sangat memberatkan. Kebijakan pemerintah hanya berkutat pada gali lobang tutup lobang, bayar utang lama dan buat utang baru, pengalihan ULN ke UDN, dan reprofiling. Bahkan, ada trend utang pemerintah kembali naik, setelah sebelumnya sempat turun. Pemerintah dinilai kedua penulis sangat patuh dengan saran-saran IMF. Atas dasar alasan kredibilitas Indonesia di dunia internasional, pemerintah Indonesia akan membayar semua utang sesuai dengan waktu jatuh temponya.
Bagi kedua penulis, upaya penyelesaian utang pemerintah Indonesia saat ini tidak bisa dilakukan dengan cara-cara biasa (business as usual), namun perlu diambil langkah-langkah terobosan yang extraordinary. Penyelesaian utang pemerintah juga tidak harus hitam putih, dikemplang semua atau dibayar semuanya. Opsi wajarnya adalah ambil jalan tengah kedua titik ekstrim tersebut, namun dilakukan secara cermat dan dinamis. Hal yang diperlukan saat ini adalah perundingan secara serius dengan pihak kreitur. Hasil akhirnya harus berupa pengurangan beban utang secara signifikan untuk jangka waktu yang panjang. Dalam bahasa sederhana diperlukan penghapusan sebagian besar ULN atau peniadaan (setidaknya pengurangan secara berarti) pembayaran bunga atau kombinasi keduanya. Secara teknis keuangan, ada banyak opsi yang bisa dipilih dan dikombinasikan, seperti Debt refinancing, Debt reorganization, Debt rescheduling, dan lain-lain.
Dalam akhir bukunya, kedua penulis menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan utang pemerintah saat ini yang begitu patuh dengan anjuran IMF, tidak relevan dengan tantangan perekonomian Indonesia saat ini. Jika kebijakan ini diteruskan, maka utang pemerintah telah dan akan semakin mencekik rakyat Indonesia dimasa mendatang.
Buku ini sebenarnya buku yang tidak terlalu berat untuk dibaca, namun terdapat banyak angka-angka didalamnya yang perlu untuk dibaca secara teliti. Selamat Membaca…!!!.
BPP00006062 | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing |
Tidak tersedia versi lain