Text
Mengawal transisi: Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pemerintahan Transisi RI di Yogyakarta 1949
Role of Sultan Hamengku Buwono IX, the Sultan of Yogyakarta, in the Indonesian independence struggle.
Sejak Yogyakarta menjadi ibukota RI pada 4 Januari 1946, peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX sangat menonjol, terutama pasca Agresi Militer Belanda jilid II. Ketika para pemimpin RI ditawan oleh Belanda, Republik di Yogyakarta tidak serta merta kehilangan sosok figur yang berwibawa.
Jika dalam kancah nasional masyarakat mengenal sosok Soekarno-Hatta sebagai “Dwi-tunggal”, di Yogyakarta masyarakat juga menganggap sosok itu melekat pada diri Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII. Kedua tokoh ini mempunyai peran besar terhadap keberlangsungan Republik di Yogyakarta.
Setidaknya ada dua peristiwa besar yang terjadi di Yogyakarta pasca Agresi Militer Belanda II. Kedua peristiwa tersebut menempatkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai tokoh utamanya. Peristiwa pertama adalah Serangan Umum 1 Maret 1949.6 Sedangkan yang kedua adalah “Pemerintahan Transisi RI” atau pemerintahan masa peralihan. Peristiwa pertama tidak akan dibahas dalam buku ini, sedangkan yang kedua merupakan bahasan dari buku ini.
Pasca Serangan Umum 1 Maret 1949, diplomasi RI mulai mendapatkan hasil yang signifikan. Belanda semakin terdesak karena argumen-argumennya mengenai RI tidak dapat dibuktikan lagi selama sidang di Dewan Keamanan PBB. Peristiwa itu akhirnya menggiring RI dan Belanda kembali ke jalur perundingan.7 Diawali dengan persetujuan Roem-Royen dan puncaknya pada Konferensi Meja Bundar (KMB).
Rentang waktu pasca Serangan Umum 1 Maret 1949 hingga pengakuan kedaulatan RI, masa inilah yang disebut sebagai masa transisi. Namun, pemerintahan transisi secara resmi baru dimulai pada 1 Mei 1949, setelah Sri Sultan Hamengku Buwono IX menerima mandat dari Presiden Soekarno untuk menerima kembali kekuasaan baik sipil maupun militer dari tangan Belanda. Pemerintahan transisi ini sebenarnya merupakan pelaksanaan dari hasil-hasil yang telah tertuang dalam persetujuan Roem-Royen. Pemerintahan ini berakhir pada 30 Juli 1949, setelah mandat yang diberikan kepada Sultan dicabut.
BPP00003304 | 320.4 AAN m | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
BPP00003303 | 320.4 AAN m | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain