Text
Simposium, kapitalisme, sosialisme, demokrasi
uku ini merupakan kompilasi berbagai artikel terpilih yang mewakili topik besar tentang kapitalisme, sosialisme, dan demokrasi. Menariknya, kompilasi sembilan artikel di atas tak melulu berasal dari tulisan akademisi. Secara seimbang, penyunting menggabungkan tulisan sarjana dengan praktisi tentang relasi di antara ketiga konsep yang merupakan kajian penting pada masa itu.
Secara kapasitas, Miriam merupakan ilmuan politik awal Indonesia yang produktif menghasilkan berbagai macam kajian politik. Sumbangannya yang paling kentara adalah usaha-usaha menjembatani keilmuan Barat yang dikontekstualisasikan dengan fenomena sosial-politik Indonesia. Proyek penerjemahan pemikiran-pemikiran politik terlihat signifikan terutama bagi para sarjana yang membutuhkan referensi yang tepat untuk mempelajari pemikiran Barat, dan salah satunya dalam buku ini.
Dari sistematikanya, buku ini melihat hubungan demokrasi dengan kapitalisme dan sosialisme sebagai konsep-konsep yang saling terkait, namun juga kontradiktif. Semua ini tergantung pada perspektif apa yang digunakan. Dalam tataran keilmuan, kehadiran para intelektual revisionis turut memperkuat keterkaitan yang pada awalnya merupakan konsep-konsep yang berseberangan. Dalam diskursus ini, masalah klasik yang sampai sekarang masih diperdebatkan adalah: apakah demokrasi, sebagai sebuah sistem politik, lebih mungkin hidup dalam sistem ekonomi kapitalisme liberal, atau justru dalam sistem ekonomi sosialis. Pertanyaan utama yang penyunting rangkum dari semua tulisan adalah, benarkah kapitalisme merupakan wadah bagi demokrasi? Dan, benarkah sosialisme cenderung ke arah totalitarianisme?
Titik tekan buku ini tertuju pada fenomena empiris gerakan sosial demokratis yang mengawinkan gagasan sosialisme, kapitalisme, dan demokrasi. Oleh karenanya, secara spesifik, bahasan ini diarahkan kepada tulisan-tulisan yang “membela” peranan sosialisme, terutama versi sosial demokrasi. Walaupun membahas berbagai spektrum pemikiran sosialisme, pembatasan kajian pada gagasan sosial demokrasi menjadi sudut pandang cukup menarik yang dihadirkan buku ini.
Setidaknya, empat penulis hendak membantah tudingan bahwa sosialisme adalah jalan tak terhindarkan menuju totaliterisme. Pada awalnya, sosialisme menunjukkan sifat alaminya yang nonrevolusioner dan nonradikal. Lewat tokoh-tokoh Saint-Simon, Forier, dan Robert Owen pada abad ke-18, sosialisme dicanangkan lewat pembaruan prosedur konstitusional dan demokratis. Sosialisme saat itu diarah pada berbagai argumentasi dan pertimbangan moral demi mencapai cita-cita bersama. Gagasan tersebut direvisi oleh pemikiran revisionis dari Karl Marx pada abad berikutnya yang berusaha merombak struktur sosial yang sudah mapan. Namun, gagasan Marx dikritik balik oleh pemikiran revisionis berikutnya, Eduard Bernstein, yang mencanangkan sosialisme demokratik. Bahkan, lewat perspektif yang lebih “kanan”, Bayard Rustin menyebut makna sosialisme adalah bersifat demokratis (hlm. 40). Artinya, bukan sosialisme jika gagasan dan program sosialis tak mempertahankan demokrasi.
Pandangan-pandangan tersebut mengoreksi pemikiran Marxist dan praktik sosialisme di Uni Soviet, China, dan lain-lain. Kajian revisionis berikutnya terus menguatkan bahwa praktik sosialisme bersesuaian dengan demokrasi. Sebagaimana, Ball & Dagger (2014) menyatakan bahwa substansi “true socialism” adalah an equal vioce in decisions. Sosialisme serupa dengan demokrasi bahwa “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Political Ideologies and Democratic Ideal: 194). Perspektif tersebut digali berdasarkan pemikiran awal sosialisme tentang hakikat persamaan (equality).
Carl Gersham memandang sosial demokratis merupakan sistem politik-ekonomi yang mampu menyelaraskan sosialisme, kebebasan, dan pemerintahan sendiri. Lewat janji kemakmuran rakyat yang ditawarkannya, golongan sosialis demokrat mampu memadukan masyarakat sosialis yang dicita-citakan dengan masyarakat liberal yang menjadi sumbernya (hlm. 47). Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah kemampuannya mempertahankan diri terhadap sistem politik yang ada (hlm 49). Pengawinan sosialisme dengan demokrasi sejalan dengan tren demokratisasi global pada era modern. Sebagaimana catatan Huntington menyebutkan bahwa terus terjadi pelipatgandaan jumlah negara demokratis pada tahun 1990 sebanyak 58 negara (Gelombang Demokratisasi Ketiga: 28).
Walaupun sang penyunting telah berhati-hati agar tak membuat lompatan logika, namun soal konsep dialektika tampak terlihat tergesa-gesa dalam poin tertentu. Sejatinya, proses dialektis versi Hegel hanya terjadi dalam tataran idealisme. Agaknya, perbedaan krusial antara Hegel (ide) dengan Marx (material) diasumsikan sudah dipahami secara baik oleh para pembaca. Penulis tak menyampaikan gagasan kunci bahwa proses dialektika linear akan berhenti dalam konsep “ide absolut” (Phenomenologi of Mind, 1807). Implikasinya, ketika Marx mematerialkan gagasan dialektika dalam konsep “stateless society”, seolah-olah Marx hanya secara sederhana meminjam kerangka teoritis Hegel.
Hal yang paling krusial sebenarnya adalah kendala teknis keterbatasan jumlah halaman. Walaupun penyunting mencoba menyiasatinya dengan uraian pengantar yang cukup panjang dan halaman glosarium di belakang, tentunya pada sarjana tetap merasa kurang “puas” dengan penjelasan 4-10 halaman dari setiap penulis. Namun, bagaimanapun, kritik ini jauh dari mengurangi bobot buku ini yang berisi begitu banyak hal penting yang disajikan pengarang. Walaupun pemikiran-pemikiran tersebut tidak sama sekali menyinggung langsung dengan situasi di negara Dunia Ketiga, setidaknya pengkajian ilmiah terhadap pemikiran-pemikiran tersebut tetap relevan di Indonesia.
BPP00002396 | 321.8 MIR s | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain