Text
Kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara: perubahan dan kelangsungannya
Buku ini terdiri dari tujuh bab yang secara keseluruhan mampu menguraikan bagaimana keadaan sosial masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya masyarakat yang tinggal di kota pantai. Buku ini menguraikan secara detail bagaimana perkembangan kota-kota pantai yang ada di Sulawesi Tenggara. Karena penulis sendiri merupakan penduduk asli dari Sulawesi Tenggara. Dia berasal dari salah satu kota penting yang ada di Sulawesi Tenggara, yaitu Buton yang merupakan salah satu kota yang terkenal dengan masyarakatnya yang dekat dengan laut. Kedekatan inilah yang membuat penulis mampu memberikan gambaran tentang kota-kota pantai yang ada di Sulawesi Tenggara dengan cukup jelas terutama tiga kota penting yang ada di sana yaitu Buton, Kendari, dan Muna. Selain itu penulis juga menjelaskan tentang hubungan dagang yang tejalin antara masyarakat dan para pelaku perdagangan dengan menyertakan sumber dan data yang mendukung penulisannya.
Bab pertama dalam buku ini menjelaskan tentang gambaran umum kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara. Meskipun penelitian mengenai sejarah kota belum terlalu mendapatkan perhatian dari sejarawan di Indonesia. Namun ini menjadi tantangan tersendiri bagi penulis karena sebagian besar wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan dan dari sana tempat tumbuh dan berkembangnya perekonomian masyarakat maupun pemerintahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa Sulawesi Tenggara merupakan salah satu tempat yang penting dalam jalur perdagangan dunia. Sehingga muncul pemukiman-pemukiman di sekitar wilayah sungai dan laut yang merupakan tempat penting untuk perdagangan. Hal ini menjadikan munculnya kota-kota pantai yang mampu menopang perekonomian masyarakat dan pemerintahan.
Wilayah Sulawesi Tenggara yang berdekatan dengan pusat birokrasi kolonial wilayah Timur memberikan keuntungan tersendiri untuk masyarakat Sulawesi Tenggara. Ambon yang merupakan tempat perekrutan prajurit Hindia Belanda dan juga sebagai pusat produksi rempah-rempah Internasional banyak dikunjungi oleh pedagang. Sementara itu Makasar yang tumbuh menjadi kota plabuhan yang selalu ramai oleh pedagang menjadi keuntungan tersendiri bagi Sulawesi Tenggara. Karena dengan demikian masyarakat Sulawesi Tenggara mampu menjangkau kedua kota tersebut untuk berinteraksi dalam hal perdagangan dengan kota-kota lainnya.
Kemajuan kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara ini juga tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran pemerintah yang mengurus tentang administrasi Sulawesi Tenggara. Maka untuk menjelaskan hal tersebut penulis menuliskannya dalam bab dua dengan sub judul Identitas dan Administrasi Pemerintahan Sulawesi Tenggara. Keberadaan Sulawesi Tenggara ini tidak bisa dilepaskan dari peran Kerajaan Buton yang pernah berkuasa terlepas dari posisi geografisnya yang membentuk wilayah tersebut. Dua faktor tersebut kemudian ikut andil dalam pembentukan kultur masyarakat pantai yang bersifat terbuka dalam menerima perubahan. Keberadaan penguasa-penguasa di wilayah Sulawesi Tenggara seperti Kerajaan Buton, Kerajaan Ternate, Kerajaan Gowa, dan Kerajaan Konawe juga memberi warna tersendiri bagi masyarakat Sulawesi Tenggara. Keberagaman etnis seperti Cina, Arab, Eropa, dan penduduk pribumi yang ada di Sulawesi tenggara menambah keberagaman masyakarat Sulawesi Tenggara.
Perdagangan menjadi pokok bahasan dalam buku ini yang disajikan pada bab ke tiga oleh penulis. Perdagangan dan hubungan politik di Sulawesi Tenggara disampaikan secara rinci oleh penulis terlihat dari adanya beberapa subab yang disajikan oleh penulis dalam pembahasannya pada bab tiga. Perdagangan menjadi sumber ekonomi masyarakat Sulawesi Tenggara secara garis besar selain sebagai petani, nelayan, pedagang dan pelayar. Untuk bidang pertanian dan perkebunan bisa diketahui dari laporan tertulis tentang mata pencaharian masyarakat Indonesia secara umum sebagai petani. Jika sebelum kedatangan kolonial Belanda masyarakat Sulawesi Tenggara hanya mengenal tamanan yang biasa dikonsumsi sehari-hari seperti umbi-umbian, maka saat masuknya Kolonial Belanda mereka mulai diperkenalkan dengan jenis tanaman baru. Yang kemudian dibudidayakan dalam jumlah besar untuk selanjutnya dijual di pasar Internasional.
Peternakan menjadi mata pencaharian yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Sulawesi Tenggara. Peternakan ini terutama berkembang di daerah Muna. Hasil peternakan Muna yang terkenal adalah Sapi, Mutiara dan ayam yang kemudian di ekspor ke luar kota. Untuk ayam diekspor ke Ambon sedangkan sapi diekspor ke Bali. Wilayah hutan yang luas di Sulawesi Tenggara tidak disia-siakan oleh penduduk Sulawesi Tenggara. Hal ini terbukti dengan hasil hutannya yang melimpah terutama rotan yang kemudian diekspor ke berbagai negara. Namun hal tersebut tidak membuat masyarakat Sulawesi Tenggara mampu memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri. Sehingga mereka juga mengimpor bahan-bahan pokok dari luar seperti beras, gula, garam, kain dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan munculnya hubungan perdagangan di Sulawesi Tenggara.
Sektor pajak juga menjadi salah satu sumber perekonomian masyarakat Sulawesi Tenggara. Pajak ini dikenakan dalam bentuk cukai pelabuhan, perahu, pertambangan, hasil hutan, pertanian, perkebunan, dan pajak kepala. Pajak ini menguntungkan kerajaan karena beberapa sektor pajak yang masuk setiap tahun menambah kas kerajaan. Pada awal abad 20 Sulawesi Tenggara mengalami perkembangan ekonomi yang ditunjang oleh sektor perdagangan, pertanian serta pelayaran yang didukung oleh kebijakan kolonial Belanda yang melakukan modernisasi di Buton dengan berbagai sarana dan prasarana yang mendukungnya. Sehingga wilayah ini berkembang dengan cepat yang terlihat dari adanya pelebaran jalan, pembangunan jembatan, pembukaan sekolah model eropa dan lain sebagainya.
Masih pada bab tiga penulis menggambarkan dampak dari beberapa kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Salah satu kebijakannya adalah mengenai pelayaran dan perdagangan bebas pada awal abad 19 yang direalisasikan dengan pembukaan sejumlah pelabuhan yang tidak hanya dibuka di kota-kota besar. Bahkan kota-kota kecil seperti Ambon dan Buton juga membuka pelabuhan. Bahkan pemerintah Hindia Belanda memberikan subisidi bagi perusahaan pelayaran yang melayani trayek yang telah ditentukan oleh Hindian Belanda. Transportasi lokal juga mengambil peran dalam pelayaran dan perdagangan di Sulawesi Tenggara. Wilayah Sulawesi Tenggara yang masuk dalam jaringan perdagangan internasional menyebabkan munculnya kota-kota pantai. Kemunculan kota-kota tersebut menyebabkan munculnya hubungan dagang dan hubungan politik.
Hubungan dagang dan politik yang terjalin di Sulawesi Tenggara terlihat dari adanya perjanjian persahabatan yang dilakukan antara Kapiten Apollonius Scotte yang mewakili VOC dengan Kerajaan Buton melalui rajanya Sultan La Elangi. Bahkan Gubernur Buton juga melakukan hal yang sama dengan membuat sebuah perjanjian bernama ‘Perjanjian Persekutuan Sejati’ dengan Jendral Pieter Both. Bahkan hubungan politik ini berlanjut sampai penyerangan terhadap Kerajaan Gowa dan menyelamatkan Kerajaan Buton dari upaya hegemoni Kerajaan Gowa dan Ternate. Berbagai perjanjian pernah tejadi antara Sulawesi Tenggara dan pemerintah Hindia Belanda baik itu yang menguntungkan Sulawesi Tenggara maupun sebaliknya.
Kemunculan kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara di jelaskan pada bab berikutnya yakni bab empat. Kemunculan kota-kota pantai ini tidak terlepas dari orientasi baru masyarakat yang beralih ke jalur perdagangan dengan munculnya pemukiman di daerah sekitar sungai dan laut yang merupakan jalur pelayaran dan perdagangan. Tiga kota pantai yang akan dibahas adalah Kota Buton, Kendari, dan Raha yang masuk ke dalam wilayah Sulawesi Tenggara berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda pada 27 April 1916 No. 49.
Kota Buton menjadi salah satu kota pantai yang paling berkembang di Sulawesi Tenggara. Kota Buton sendiri berada di bawah kekuasaan Kesultanan Buton. Kesultanan Buton mulai membangun Kota Buton dengan mendirikan fasilitas kota seperti pasar dan pelabuhan untuk perdagangan dan nelayan. Kota Buton berkembang dengan pesat dengan banyaknya pembangunan yang dilakukan untuk menunjang perekonomian masyarakat dan Kerajaan Buton. Bahkan dalam perkembangannya Buton dijadikan sebagai tempat Kedudukan Asisten Residen Sulawesi Timur yang kemudian menguntungkan Buton. Diantaranya dengan pembukaan jalan dan pengenalan produk Buton ke pasar Internasional. Masuknya pemerintah Hindia Belanda juga menambah keuntungan bagi Buton karena semakin ramainya aktivitas perdagangan di pelabuhan Buton.
Kota yang kedua adalah Kendari yang berkembang ketika dijadikan sebagai pusat perdagangan dan militer pada masa Vosmaer. Para pedagang dari Bugis dan Makasar meramaikan perdagangan di Kendari. Kedatangan Vosamer ini membawa perubahan bagi keadaan fisik Kota Kendari dengan adanya di tepi teluk Kendari dan pusat pemukiman di Teluk Kendari. Modernisasi dan penataan wilayah Kendari dilakukan pada masa Vosamaer yang kemudian berangsur-angsur menjadi kota perdagangan yang ramai setelah Buton. Wilayah Kendari dijadikan sebagai daerah operasi militer. Sehingga wilayah ini dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda ditambah lagi dengan takluknya Raja Laiwui. Hal ini membuat pemerintah Hindia Belanda semakin bebasa mengatur daerah ini. Banyak pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda seperti pembangunan insfrastruktur jalan raya, peningkatan fasilitas pelabuhan, pembangunan gereja dan lainnya.
Kota ketiga yang diteliti oleh penulis adalah Kota Muna atau Raha. Kota Muna memunyai jalan-jalan yang lebar untuk angkutan kendaraan mobil yang dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pembangunan ini bertujuan untuk menunjang perekonomian Pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan kayu. Hasil hutan dan perkebunan menjadi sumber ekonomi Kota Muna yang kemudian diekspor ke berbagai kota di luar Sulawesi Tenggara. Kota ini menjadi kota pantai karena adanya arus perdagangan dan pelayaran yang secara tidak langsung membentuk kota Muna menjadi kota pantai.
Keadaan masyarakat yang berada di kota-kota pantai digambarkan pada bab lima. Pada umumnya kebanyakan masyarakat yang tinggal di wilayah sekitar pantai berprofesi sebagai nelayan, pelayar, dan pedagang. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat yang tinggal di kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara. Berbagai etnis yang mendiami wilayah Sulawesi Tenggara ini memberi warna tersendiri bagi perkembangan Sulawesi Tenggara. Mereka datang ke Sulawesi Tenggara dengan tujuan yang berbeda-beda. Seperti orang Jepang yang bermata pencaharian sebagai peternak mutiara di Muna. Orang Cina sebagai pedagang di Kota Buton dan Kendari. Sementara masysarakat pribuminya dibagi menjadi dua, golongan atas sebagai penguasa dan golongan bawah sebagai masyarakat biasa.
Sebelum Pemerintah Hindia Belanda berkuasa, para penguasa pribumi dan bangsawan memegang kekuasaan masyarakat. Baru setelah kedatang Hindia Belanda datang kekuasaan penguasa pribumi semakin berkurang, bahkan raja menjadi bawahan Pemerintah Hindia Belanda. Berbagai perubahan dirasakan oleh masyarakat setelah masuknya Pemerintah Hindia Belanda baik dari segi insfratruktur fisik maupun pemerintahan yang secara tidak langsung merugikan masyarakat pribumi.
Bab enam menceritakan tentang insfratruktur kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara. Pembangunan insfratruktur di wilayah tersebut tidak bisa dipisahkan dari aktivitas masyarakatnya yang pada umumnya berprofesi sebagai pedagang, nelayan dan sebagainya. Berbagai fasilitas juga disediakan oleh Pemerintah Belanda untuk mendukung kegiatan perdagangan yang terjadi di Sulawesi Tenggara. Sehingga bisa meningkatkan pendapatan Pemerintah Hindia Belanda meski terkadang merugikan pihak pribumi. Pembangunan jalan baru diberbagai wilayah dilakukan guna memperoleh keuntungan ekonomis, terutama untuk wilayah-wilayah yang mempunyai keuntungan komoditas di pasar Internasional. Untuk mengembangkan ekonomi masyarakat maka pemerintah juga membangun pasar. Pasar sangat berperang penting dalam menunjang perekonomian karena disana menjadi jual pusat jual beli barang. Pasar kota pantai biasanya menjual ikan laut, garam, kerang dan barang impor lainnya.
Pendidikan juga memperoleh perhatian khusus dari pemerintah. Ketika Pemerintah Hinda Belanda menguasai Sulawesi Tenggara tahun 1906, mereka melakukan penataan pendidikan. Hal ini dilakukan untuk mengisi kebutuhan akan tenaga terdidik dalam birokrasi dan administrasi Pemerintahan Hinda Belanda di daerah tersebut. Berbagai jenis sekolah didirikan di Sulawesi Tenggara seperti sekolah pertanian, sekolah rakyat, sekolah lanjutan dan berbagai sekolah keagamaan. Berkembangnya kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara tidak hanya berdampak pada pendidikan, namun juga dengan semkin berkembangnya Industri dan trasnportasi di wilayah yang bersangkutan.
Bab terakhir yaitu bab tujuh menjelaskan tentang kota-kota pantai yang dinamis. Hal ini digambarkan melalui perkembangan kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara yang dibagi dalam lima fase. Fase pertama berlangsung antara abad 14-17 yang secara politik masih berada dibawah kontrol Kerajaan Buton. Fase kedua perkembangan kota-kota pantai di Sulawesi Tenggara dengan ditandai perkembangan politik yang lebih dominan. Fase ketiga terjadi antara tahun 1824-1906 masih diwarnai politik dengan kepentingan ekonomi yang lebih dominan. Fase keempat berlangsung antara tahun 1806-1920an yang ditandai dengan upaya Pemerintah Belanda yang memaksakan masyarakat Sulawesi Tenggara untuk menerima modernisasi untuk mendukung kegiatan ekonomi mereka. Dan fase kelima berlangsung tahun 1920an-1942 ditandai dengan semakin berkembangnya pembangunan insfratruktur dan eksploitasi hasil hutan dan tambang.
Secara gari besar penulis mampu memberikan gambaran secara jelas keadaan kota-kota pantai yang ada di Sulawesi Tenggara baik dari segi pemerintahan, keadaan geografis, dan keadaan sosial masyarakatnya. Bahasa yang digunakanpun mudah untuk dipahami sehingga pembaca tidak akan kesulitan untuk memahami apa yang disampaikan oleh penulis. Selain itu penulis memberikan banyak sumber yang digunakan dalam penelitiannya ini. Sehingga karyanya ini sangat bisa dipertanggungjawabkan. Gambaran yang coba disampaikan oleh penulis bisa tersampaikan dengan baik. Selain itu isi dari buku juga tidak bertele-tele, namun langsung ke inti pembahasan. Hal ini pula yang menjadikan buku ini semakin nyaman untuk dibaca terutama untuk yang tertarik dengan dunia kelautan.
BPP00002262 | 912.5986 LAO k | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
BPP00002261 | 912.5986 LAO k | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain