Text
Takhta untuk rakyat: celah-celah kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX
Adalah suatu kehormatan teramat besar bagi saya beserta seluruh Rakyat Yogyakarta, bahwa buku lama edisi perdana tahun 1982, ‘Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX’, ternyata banyak juga peminatnya yang ingin membaca makna pesan di dalamnya guna ikut meluruskan perjuangan bangsa ini ke depan dalam upaya meneruskan cita-cita founding fathers.
Buku ini dihimpun oleh Mohamad Roem, Mochtar Lubis, Kustiyani Mochtar dan S. Maimoen, disunting oleh Atmakusamah, yang mayoritas bukanlah etnis Jawa. Hal ini menunjukkan, bahwa ruh kebhinnekaan dan kebangsaan telah merembes, membasuh dan merasuk ke dalam goresan tangan penulisnya sekaligus menjiwai isi buku ini. Sebagai buku hadiah ulang tahun Beliau yang ke-70, sangat berbeda dengan buku-buku biografi para elite yang kini marak. Buku ini jauh dari maksud sebagai media pencitraan, karena otensitas dan akuntabilitasnya amat terjaga.
Enam Pesan
Dari buku ini tersirat pesan, pertama, kesahajaan dan kesederhanaan seorang pemimpin yang tanpa pamrih kekuasaan. Kedua, desakralisasi kepemimpinan seorang Sultan. Ketiga, komitmen seorang Pemimpin-Peneladan bagi rakyat yang dipimpinnya. Keempat, kepemimpinan transformasional dan agent of change yang berani mendobrak tradisi untuk mendorong kemajuan pendidikan, ketika mengizinkan bangunan Kraton untuk kuliah mahasiswa UGM di masa-masa awal kelahirannya.
Hal ini terucap dalam pidato penobatan Beliau sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX: “ …maka selama tidak menghambat kemadjoean, adat akan tetap mendoedoeki tempat jang oetama dalam Keraton jang kaja akan tradisi ini”.
Kelima, meski sejak berusia 4 tahun hidup di tengah-tengah keluarga Belanda, Mulder namanya, sehingga diberi nama sebutan Henkie, dan belajar di negeri Belanda, Beliau tidak kehilangan jatidiri, seperti dikutip dari bagian lain pidato penobatan tersebut: “Walaoepoen saja telah mengenjam pendidikan Barat jang sebenarnja, tetapi pertama-tama, saja adalah, dan tetap, orang Djawa”.
Dalam konteks situasional saat itu, pernyataan ini menggambarkan sikap nasionalisme budaya progresif, yang membuat Belanda sempat tercengang. Sebab tiada sepatah kata pun berjanji setia pada Negeri Belanda, apalagi tunduk, bahkan akan bekerja keras untuk yang disebutnya Nusa dan Bangsa.
Keenam, menunjukkan jiwa-semangat kebangsaan yang total, yang diamanatkan pada bagian akhir pidato tersebut jauh-jauh hari sebelum Proklamasi, pada saat penobatan 18 Maret 1940, yang menegaskan: “Izinkanlah saja mengackhiri pidato saja ini dengan berdjandji, semoga saja dapat bekerdja oentoek memenoehi kepentingan Noesa dan Bangsa, sebatas pengetahoean dan kemampoean jang ada pada saja”.
Sejarah kemudian mencatat, ternyata pidato itu memiliki dimensi jauh ke depan, tidak hanya sekadar: ‘sebatas pengetahuan dan kemampuan’ yang ada pada Almarhum. Berbeda dengan ‘janji Pemilu’, tetapi lebih dari apa yang dijanjikan, dibuktikannya dengan tindakan nyata di saat-saat genting sekitar Proklamasi dan di masa Revolusi fisik.
Kota Republik
Ketika eksistensi Republik tidak menentu karena kembalinya Belanda dengan kedok NICA membonceng kehadiran Sekutu di Jakarta, Beliau mengundang Soekarno-Hatta beserta Kabinetnya untuk memindahkan Ibukota ke Yogyakarta. Padahal sesungguhnya Almarhum belum mengenal Bung Karno secara pribadi, namun mungkin secara imajiner sudah “bertemu” dalam visi keIndonesiaan yang sama. Pada waktu itu Yogyakarta adalah negeri yang berdaulat, dan diakui Belanda. (Bersambung Sabtu besok)-s
Peristiwa bersejarah itu, kemudian kita kenal dengan ‘Yogyakarta Kota Republik’, ketika Bung Karno tiba di stasiun Toegoe dijemput secara pribadi oleh Almarhum pada 4 Januari 1946. Dengan melihat diorama ‘Hijrahnya Ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta’ di Museum Sejarah, Beteng Vredeburg, kita bisa mendalami makna sejarah, bahwa dari kota inilah tonggak awal pergulatan kita sebagai bangsa yang mencita-citakan kemerdekaan dipancangkan. Kemudian sejarah mencatat dengan tinta emas, bahwa ‘Yogyakarta Memang Istimewa’, karena senyatanya menjadi penyangga Republik yang masih muda itu.
Hal ini dideklarasikan dengan Maklumat 5 September 1945, yang menyatakan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi bagian dari Republik Indonesia, yang kemudian dijawab oleh Presiden Soekarno dengan Piagam Penetapan pada 6 September 1945. Piagam itu berisi pengakuan kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII serta menetapkan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa sekaligus memberikan kekuasaan pemerintahan kepada Beliau berdua langsung di bawah Presiden.
Dan jangan lupa, pengakuan keIstimewaan Yogyakarta ini sudah berjalan lebih dari 65 tahun hingga sekarang! Bahkan, ketika zaman Belanda dan Jepang pun kedua negara penjajah itu tetap mengakui kedaulatan Kraton Yogyakarta dan tidak pernah berani memasuki wilayah kedaulatannya itu.
Sesungguhnya jejak sejarah ‘Proklamasi 17 Agustus 1945’, harus dikaitkan dengan mata rantai peristiwa-peristiwa bersejarah sesudahnya, yakni ‘Amanat 5 September 1945’, ‘Serangan Oemoem 1 Maret 1949’, dan ‘Yogya Kembali 29 Juni 1949’ beserta peristiwa-peristiwa bersejarah lainnya, yang kesemuanya itu berlangsung di Yogyakarta. Dalam desertasi ilmiahnya, sejarawan Prof Dr P.J. Suwarno SH menyatakan, Amanat 5 September 1945 itu dapat disebut ‘Proklamasi Kemerdekaan Yogyakarta’ dari penjajahan Jepang.
Kata-katanya dinilai berani, sangat radikal dan berisiko, karena kekuasaan pemerintahan langsung dinyatakan diambil secara penuh oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII. Padahal Jepang masih menduduki pos-pos pemerintahan dengan dukungan kekuatan militer yang kuat dan bersenjata lengkap di Pingit, Kotabaru dan Maguwo, yang harus direbut dengan ìPertempuran Kotabaruî yang heroik itu. Pada saat itu lalu diikuti dengan pengibaran bendera merah putih di rumah-rumah penduduk dan bangunan milik Kasultanan dan Paku Alaman. Dan akhirnya penyerahan kekuasaan Jepang di Yogyakarta langsung kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX, bukan kepada TNI.
Proklamasi Kedua
Sejak menjadi Ibukota RI, sampai bangsa Indonesia diakui oleh negara luar, ketika Republik Indonesia Serikat berdiri sebagai hasil KMB, hingga saat penyerahan keadaulatan RI, 29 Juni 1949, Yogyakarta tetap menjadi Ibukota RI dan konsisten berjuang di jantung Republik. Tekad Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan seluruh rakyat Yogyakarta untuk terus bergabung dengan NKRI tak hanya dibuktikan dengan Maklumat itu saja, tapi komitmennya juga tersurat dalam îProklamasi 30 Juni 1949î, yang dikumandangkan oleh Beliau sehari setelah peristiwa ‘Yogya Kembali’ pada 29 Juni 1949.
Menurut sejarawan Prof Djoko Suryo, Proklamasi itu disebutnya îProklamasi Keduaî yang bermakna ganda. Pertama, proklamasi kepada dunia internasional bahwa NKRI masih tegak berdiri. Sebab sebelumnya kedaulatan RI terkoyak oleh pendudukan Belanda. Kedua, penegasan kembali bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai representasi rakyat Yogyakarta tetap konsisten mendukung NKRI, ketika kerajaan-kerajaan lain masih bersikap diam dan menunggu. Saat itu, Sri Sultan sebagai Menteri Negara Koordinator Keamanan, bertindak untuk dan atas nama Presiden serta bertugas menjadi ípenjaga gawangí Ibukota Republik di Yogyakarta. Soekarno-Hatta saat itu masih menyingkir ke Bukittinggi, dan baru tiba kembali ke Yogya pada 6 Juli 1949.
Serangan Oemoem 1 Maret 1949 mengisyaratkan NKRI de facto masih eksis, tetapi Proklamasi Kedua ini merupakan titik kulminasi perjuangan fisik yang dituangkan dalam pernyataan politik, bahwa NKRI de jure tetap berdaulat. Sehingga dengan demikian kedaulatan NKRI, baik secara de facto maupun de jure, lewat Proklamasi ini dikumandangkan agar memperoleh pengakuan dunia internasional. Baru pada 17 Agustus 1950, Ibukota kembali ke Jakarta, dan NKRI utuh kembali sebagai negara yang berdaulat sepenuhnya.
Plain Living, High Thinking
“Beliau besar karena kerakyatannya”, kata seorang budayawan memberikan komentar tentang Almarhum. “Sri Sultan IX adalah Raja besar, Gung Binathara”, kata seorang sejarawan. Penerapan konsep ke-agung binatharaan-nya itu dinyatakannya dengan sikap tegas, yang menyurutkan langkah Kolonel Van Langen, sehingga mengurungkan menggeledah masuk ke Kraton. Kata Almarhum waktu itu: “Hanja dengan melangkahi majat saja, Toean dapat masoek ke Kraton”.
Sikap tegas beliau sering muncul begitu saja dengan spontan, justru dalam momen-momen penting yang menentukan.
Sederet kesan, pendapat atau pun komentar, bisa saja disusun orang untuk memenuhi halaman buku. Tidak kurang ada 23 kontributor tulisan tokoh dalam bagian ‘Mengenal Sri Sultan dari Dekat’. Akan tetapi, orang pun terkadang masih tetap bertanya-tanya. Siapakah sebenarnya Beliau itu? Almarhum pertama-tama adalah seorang Raja. Sudah dengan sendirinya Almarhum hidup di tengah-tengah tradisi Jawa yang kuat. Seorang budayawan yang lain menyebut ‘Hamengku Buwono’ dengan: ‘Nama penuh Makna’, karena menyandang misi harus ‘ìlebih banyak memberi daripada menerima’.
Hidup sederhana, dikenal sebagai ciri Almarhum. Meski demikian, di satu saat terkadang menampilkan keangkeran, ketegasannya, tetapi di saat lain juga kelemah-lembutan, keramahan, kehangatan, dan keakraban. Di kalangan rekan-rekan Almarhum dipanggil Pak Sultan, di kalangan Pramuka dipanggil Kak Sultan. Dan di saat Revolusi lebih senang dipanggil Bung Sultan.
“Beliau bukan politikus, tetapi seorang negarawan”, kata seorang sejarawan yang lain dalam deretan antrean pelayat menuju Bangsal Kencana, menjelang azar. Beliau juga pecinta olahraga, juga seorang pecinta kesenian. Dan semangatnya selalu muda, yang dibuktikannya dengan kedekatannya pada kegiatan Pramuka, sejak awal sejarahnya.
Almarhum pernah berpesan kepada putera-puterinya, bahwa Beliau menolak dikultuskan. Almarhum tidak senang disanjung-sanjung, misalnya dipesankan jangan dijadikan nama jalan atau dibangunkan sebuah monumen. Dan benar, sanjungan, pengkultusan tidak ada gunanya buat Almarhum. Sebab kesederhanaan letak kharismanya. Bahkan juga dipesankan, agar jangan mengungkit kembali sumbangan Kraton kepada Republik. Dalam hal ini, Bapak Jusuf Ronodipuro pernah membuat testimoni otentik tentang itu. Ketulusan Beliau adalah titik api kekuatannya. Kerakyatannya menjadi ilham para pemimpin bangsa ini, juga kaum muda di kelak kemudian hari.
Karena sempat mengenyam pendidikan modern, Beliau gampang mengadaptasi diri dengan pandangan-pandangan analitis. Tetapi yang menarik, Almarhum tidak menampakkan diri sebagai pribadi yang terbelah menjadi split personality. Mungkin karena itu, dalam diskusi tentang figur-figur dunia yang diselenggarakan di Oberlin College, Ohio, Amerika Serikat, di awal tahun 1987, seorang Visiting Fullbright Profesor in Humanities dari Indonesia mengatakan, “dalam diri Beliau terdapat kemampuan sintesa yang kuat, justru bersumber dari sikap Beliau yang biasa-biasa saja”.
Dalam diskusi itu, seorang kandidat Doktor dari Indiana University mengatakan, disadari atau tidak, Beliau menerapkan semacam falsafah hidup, plain-living, high-thinking, “hidup sederhana, berpikiran adiluhung”. Hal ini diceritakan oleh Frans Seda, sahabat Beliau, kalau Almarhum di luar negeri sering jalan-jalan mengelilingi hotel, di musim dingin tanpa over-coat. Ternyata, Beliau melapisi dadanya dengan lembaran koran, sebagai pelindung angin dan udara dingin. Kesederhanaannya juga dari cara Beliau berbusana. Dalam Sidang Umum MPR 1978, menjelang terpilih sebagai Wakil Presiden, para wartawan ‘menemukan’ suatu hal ‘penting’: Beliau ternyata memakai kaus kaki yang longgar, dan agar jangan sampai melorot diberi karet gelang.
Saya rasa, beberapa hal di atas telah cukup memberikan gambaran sosok Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang sebenarnya. Justru yang penting bagi kita adalah, jangan mewarisi abunya, akan tetapi serap dan nyalakanlah apinya. Semangat kepahlawanan dan kepeloporannya, memang patut kita teladani, seperti halnya dengan pengembangan ajaran Asthabrata misalnya, tidak hanya terbatas bagi kepemimpinan seorang Raja, tetapi juga bagi segenap lapisan rakyat. Dan lebih utama lagi, bagi generasi muda penerus bangsa.
Cermin Generasi Muda
Apa kemudian yang terbayangkan bagi generasi muda kita? Dengan pandangan reflektif, menelusuri alur sejarah perjuangan para pemimpin bangsa, diharapkan generasi muda tidak sekadar hanya mengaguminya dalam bingkai emas keteladanannya saja. Tetapi hendaknya generasi muda juga mampu membaca dan menyerap kepemimpinannya dari segi-segi manusiawinya sebagai seorang manusia biasa.
Menghadapi semua persoalan bangsa, seorang pemimpin tentu tidak boleh hanya berkeluh-kesah. Hal yang demikian itu, jelas bertolak-belakang dengan nilai-nilai kejuangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang waktu itu tetap konsisten membela ‘merah-putih’ dalam segala keterbatasannya.
Selama lebih dari 65 tahun kemerdekaan, warga Yogyakarta tidak pernah bergejolak, bahkan memiliki kontribusi dan ketaatan yang luar biasa bagi Republik ini. Karena itu, ketika berbicara tentang status keIstimewaan, Amanat 5 September 1949 harus menjadi dasar dan titik tolak pertimbangan, karena memang sangat berbeda akar sejarahnya dengan keIstimewaan Aceh, Jakarta, dan otonomi khusus Papua.
Rangkaian peristiwa bersejarah inilah yang tidak dipahami, bahkan dinafikan, oleh segelintir elite-elite muda, baik politisi maupun intelektual, yang terlalu terkagum-kagum oleh teori politik dan pemerintahan Barat. Padahal mereka pernah menghirup jernihnya air Merapi, atau semilirnya angin Laut Selatan, dan menimba ilmu dan pengalaman di Yogyakarta juga.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan melimpahkan berkah serta rahmat-Nya, agar pikiran-pikiran dan tindakan Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang mendahului zamannya dapat menjadi rujukan bagi generasi muda calon pemimpin bangsa masa depan.
*) Cuplikan sambutan Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Peluncuran Kembali
Buku ‘Tahta Untuk Rakyat, Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Jakarta, 25 Juni 2011.
BPP00002133 | 920.71 ROE t | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
BPP00002134 | 920.71 ROE t | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain