Text
Sejarah Indonesia modern
Arus modernitas dan tuntutan global kini menjebak kehidupan manusia Indonesia pada pola rutinitas tanpa makna. Pola yang formal-ritualistik ini membentuk manusia Indonesia menjadi manusia-manusia robot. Setiap aktifitas digerakan oleh kebiasaan, bukan kesadaran. Pola ini berimplikasi pada melemahnya daya kritis manusia Indonesia dalam membaca sejarah. Sejarah hanya dilihat dengan menggunakan kacamata kuda. Lemahnya daya kritis manusia Indonesia dalam membaca sejarah menjadi salah satu faktor penyebab memudarnya identitas kebangsaan. Korupsi, pembunuhan, pelecehan seksual dan segudang tindakan amoral lainnya merupakan perwujudan rill dari hilangnya identitas kebangsaan Indonesia itu.
Dalam buku Sejarah Indonesia Modern, Adrian Vickers memaparkan fakta-fakta sejarah yang terlupakan atau mungkin memang “sengaja” dihilangkan dari benak rakyat Indonesia. “Terdapat beberapa sejarah resmi, yang menonjolkan nasionalisme dan persatuan dengan cara menutup-nutupi riak persoalan dalam kesatuan nasional. Ini biasanya adalah sejarah tentang para pahlawan bangsa dan peristiwa-peristiwa besar, dan tak banyak bercerita tentang pengalaman orang-orang kecil di Indonesia,” begitu ujarnya pada bagian Pengantar.
Dengan meresensi buku ini, peresensi bermaksud “menggelitik” daya kritis pembaca dan pribadi peresensi sendiri sebagai bagian dari manusia Indonesia untuk kembali sigap membaca secara kritis sejarah dan realitas zaman, sehingga identitas kebangsaan kita menguat atas dasar kesadaran kritis.
Vickers mengawali ulasan bukunya dengan memaparkan alasan Belanda menjadikan wilayah Nusantara sebagai daerah kolonialisasi terbesar yang dikuasai. Langkah-langkah politik yang digunakan Belanda untuk merebut dan mempertahankan kedudukan diantaranya adalah dengan perang fisik, perebutan kota-kota dagang di sepanjang garis pantai kepulauan Indonesia, metode politik pecah-belah hingga politik etis ala Snouck Hurgronje.
Pemihakan Belanda terhadap penguasa feodal pribumi, perdagangan yang dikontrol oleh pemerintah sangat bertolak dengan sejarah modernitas Belanda yang berdiri atas kemenangan kaum borjuis terhadap kaum feodal. Selain itu, Belanda menganut prinsip ekonomi liberal, perdagangan bebas yang sangat anti terhadap sistem ekonomi terpusat. Kebijakan-kebijakan politik ini menurut Vickers merupakan suatu kontradiksi. Jutaan rakyat Indonesia mati, terpenjara dalam kemisikinan, terpasung hak politiknya.
Pada ulasan selanjutnya, akibat pemberlakuan politik etis, tercipta kaum terpelajar yang tersentral pada daerah perkotaan. Menurut Vickers, dari kota kemudian muncul “nasionalis-nasionalis” pribumi penggerak massa rakyat dalam melakukan revolusi hingga proklamasi 1945.
Pada 1942, Jepang menduduki Indonesia, yang itu berarti Belanda harus angkat kaki dari bumi Nusantara sebagai konsekuensi kekalahannya pada Perang Dunia II. Jepang, walaupun bersemboyan “Saudara Tua Asia”, bertindak lebih beringas dari penjajah sebelumnya. Dalam perkembangannya, tahun 1945, dua kota besar Jepang dijatuhi bom atom dan ditambah lagi dengan serangkaian kekalahan Jepang pada perang Pasifik, menyebabkan keguncangan kekuasaanya di Indonesia.
Indonesia memprolamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Seruan revolusi nasional dan revolusi sosial dikumandangkan. Revolusi kemerdekaan, suatu revolusi yang berdiri atas dasar pandangan kesetaraan semua golongan hanya mampu dicerna oleh sekelompok elit intelektual pergerakan. Diranah akar-rumput, revolusi sosial ini menghasilkan pemerkosaan besar-besaran terhadap perempuan-perempuan Eropa, Indo dan terutama etnis Cina. Penjarahaan, pembunuhan menyebar hingga ke desa-desa. Migrasi besar-besaran juga berarti penarikan modal secara masif. Indonesia mempersiapkan dirinya memasuki kancah Internasional sebagai suatu bangsa yang baru dengan sentimen anti-imperialisme.
Pada era demokrasi liberal hingga berakhirnya demokrasi terpimpin 1966, slogan-slogan heroik semasa revolusi tidak diimbangi dengan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan hidup rakyat. Ini diperparah dengan perseteruan politik antara golongan kanan, tengah dan kiri serta antara sipil-militer. Menyusul kemudian pemberontakan beberapa daerah yang menuntut otonomisasi. Akumulasi dari perseteruan yang berlarut itu pecah pada tragedi pembantaian besar-besaran terhadap segolongan masyarakat yang dituduh PKI. Jutaan mati, ratusan ribu lainnya diasingkan ke pulau Buruh. Soekarno turun, rezim baru muncul.
Pada pertengahan 1970-an, Soeharto menjadikan dirinya sebagai tokoh tunggal dalam pagelaran politik nasional. Kebijakan dwifungsi ABRI, peleburan parta-partai politik, orientasi pembangunan ala W.W Rostow, prinsip ekonomi “menetes kebawah”, hingga pembungkaman hak-hak asasi manusia berkumpul menjadi suatu mekanisme efektif yang melanggengkan kekuasaan dan kekayaan Soeharto beserta kroni-kroninya.
Kematian akibat kemiskinan digenapi dengan jumlah mereka yang mati akibat tindakan represif militer. Tanjung Priok, Haor Koneng, Ambon, Timor Timur, Papua, Aceh, merupakan daerah ajang pembuktian supremasi militer atas sipil. Istilah “subversif”, “separatis”,“Kiri-ekstrim”, “Kanan-ekstrim”, menjadi label menakutkan bagi masyarakat Indonesia. Ketertiban formalitas dipelihara, statistik kemiskinan dimanipulasi untuk memperlihatkan pertumbuhan ekonomi meningkat, laporan dibuat dengan prinsip ABS (Asal Bapak Senang).
Pada akhirnya, “Rezim Soeharto adalah sebuah gelembung, tetapi gelembung yang butuh waktu sangat lama untuk meledak”, tulis Vickers.
Akhir 1990-an, Globalisasi muncul dengan pedang bermata dua. Disatu sisi, globalisasi berakibat membuncahnya trend konsumtif. Pemerintah pada awalnya diuntungkan dengan pajak barang dan jasa. Perusahaan-perusahaan multinasional milik keluarga Presiden dan orang dekatnya tiba-tiba menuai untung besar. Mega-proyek dalam dan luar negeri berseliweran disekitar saku kroni-kroni Presiden.
Namun disisi lain, globalisasi memberi keterbukaan informasi yang luas. Rezim menjadi sedikit lunak. Momentum ini dimanfaatkan oleh aktifis-aktifis kemanusiaan dengan mengkonsolidasikan diri kedalam elemen-elemen perjuangan demokrasi. Pada 1998, demontrasi Mahasiswa menyebabkan Soeharto mundur. Apa yang telah terjadi pada setiap momentum perubahan rezim terdahulu kembali terjadi. Kekerasan meluap ke beberapa kota. Pemerkosaan, penjarahan, kembali terjadi dengan objek utama etnis Tionghoa.
Akhirnya, setiap perubahan atas nama pembangunan selalu meminta “tumbal”. Sayangnya, tumbal itu tidak berasal dari kalangan elit politik. Tumbal itu berasal dari masyarakat kecil, kelompok-kelompok minoritas. Sejak 1619 hingga sekarang, bangsa Indonesia masih terus berharap kesejahteraan yang dijanjikan pada setiap era perubahan.
Kelebihan buku ini, diantaranya: pertama, data dan fakta sejarah berasal dari buku-buku sejarah, jurnal dan majalah yang komprehensif. Juga dilengkapi dengan hasil wawancara penulis terhadap beberapa pelaku sejarah. Kedua, terletak pada pemaparan sejarah Adrian Vickers yang dimulai dengan biografi dan pandangan pemikiran seorang tokoh yang berkaitan erat dengan tema yang dibicarakan. Ketiga, pemilihan kata oleh editor buku yang mudah dicerna.
Namun, buku ini tidak memaparkan tentang latar filosofis dan kondisi politik internasional yang mendorong bangsa Belanda melakukan kolonialisasi. Selain itu, Vickers tidak menggunakan arsip-arsip pemerintah sebagai sumber data penting dalam menguak kebijakan-kebijakan pemerintah –yang menurutnya– kontradiktif. Ketiadaan arsip pemerintah sebagai materi pembanding mengakibatkan wacana yang dibangun Vickers dalam bukunya terkesan kering dan subjektif.
BPP00002091 | 959.8 ADR s | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
BPP00010519 | 959.8 ADR s | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain