Text
Runtuhnya Hindia Belanda
ONGHOKHAM berargumen bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya Hindia Belanda. Faktor-faktor tersebut adalah: (1) pemerintahan Hindia Belanda yang represif sejak tahun 1930, (2) Jepang yang menjadi kekuatan baru di Asia, (3) kesalahan antisipasi Hindia Belanda terhadap Perang Dunia II, dan (4) pergerakan nasional. Keempat faktor tersebut jalin-menjalin dan saling berhubungan sebagai penyebab runtuhnya Hindia Belanda.
Sejak de Jonge menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, dia melakukan pemerintahan yang represif. Janji November 1918, yaitu janji dari Jenderal Linburg Stirum untuk memberikan kemerdekaan secara bertahap kepada Indonesia diingkari (hal. 42). Alih-alih memberikan ruang kepada anak negeri untuk mengisi posisi di pemerintahan, de Jonge malah mendatangkan banyak pegawai negeri (binnelandsch bertuur) dari Belanda. Untuk mencegak pemberontakan yang terorganisir, de Jonge mengembalikan pemerintahan di daerah kepada kaum adat (hal. 46). Namun demikian dalam praktik pemerintahan oleh para bupati, de Jonge mengirimkan residen dan wakil residen yang adalah orang Belanda. Bupati dijepit oleh dua kekuasaan. Dalam pengambilan keputusan, residen lebih berkuasa daripada bupati. Sementara dalam implementasi kebijakan, asisten residen lebih dominan. Gubernur Jenderal de Jonge juga mendirikan dinas intelejen (Politieke Inlichtingen Dienst – PID) yang ditugaskan untuk menjaga keamanan (hal. 56). PID pada praktiknya melakukan pengamatan kepada semua pergerakan dan perorangan yang dianggap berbahaya. Kebijakan yang diambil de Jonge ini membuat rakyat menjadi muak dan tidak berpihak kepada Belanda.
Faktor kedua yang menjadi penyebab runtuhnya Hindia Belanda adalah Jepang sebagai kekuatan baru di Asia. Setelah restorasi Meiji dan tentara, khususnya angkatan laut mengambil alih kekuasaan, Jepang mulai menjadi kekuatan baru (hal 12). Mula-mula Jepang menyerang China pada tahun 1895 dan sepuluh tahun kemudian berperang dengan Rusia. Kebangkitan ekonomi dan militer Jepang mulai diperhitungkan sebagai kekuatan yang mengkhawatirkan di Asia. Sifat Jepang yang ekspansif tidak bisa dikontrol dengan baik oleh Amerika dan Eropa, karena pada saat yang sama mereka sedang sibuk dengan resesi ekonomi dan perang (hal. 14). Amerika mengalami krisis ekonomi di tahun 1930 dan menyebabkan mereka mengisolasi diri untuk fokus mengatasi masalah ekonomi dalam negeri. Sementara di Eropa terjadi perang antara Jerman dengan Inggris yang bersekutu dengan Perancis. Setelah menguasai Indocina dan Filipina, Jepang akhirnya mengincar Hindia Belanda.
Jepang melakukan negosiasi perdagangan yang penuh tekanan kepada Hindia Belanda. Tekanan dilakukan lebih kuat setelah pemerintahan Netherland melarikan diri ke London karena serangan Jerman. Jika awalnya Jepang hanya ingin menjamin pasokan bahan baku dari Hindia Belanda, di akhir perundingan Jepang menginginkan eksploitasi bersama terhadap kekayaan alam NusantaraMelihat kekuatan Jepang dan kebencian terhadap Belanda, beberapa tokoh pergerakan mulai mendekat kepada Jepang. Sam Ratulangi, Subardjo adalah contoh dua tokoh pergerakan yang mulai tertarik kepada Jepang (hal. 36). Tokoh lain yang mendekat kepada Jepang adalah Muhammad Husni Thamrin. Namun demikian ada juga tokoh pergerakan yang kritis dan berani. S. K. Trimurti banyak menulis tentang bahayanya Jepang bagi Indonesia. S. K. Trimurti mengingatkan bahwa selama ini Indonesia sudah menderita karena ekploitasi. Kedatangan Jepang yang akan mengekploitasi bersama justru akan meningkatkan penderitaan (hal. 37). Meski ada beberapa tokoh pergerakan yang anti Jepang, namun lebih banyak tokoh-tokoh pergerakan yang melihat Jepang sebagai pihak yang bisa diajak bekerjasama mencapai kemerdekaan.
Menyadari bahwa banyak tokoh pergerakan memalingkan hati ke Jepang, Belanda mencoba menarik perhatian tokoh-tokoh pergerakan dengan menempatkan beberapa dari mereka dalam pemerintahan. Amir Sjarifuddin misalnya, diangkat menjadi orang penting di Departemen Ekonomi (hal. 38). Sedangkan P. A. A. Soejono sebagai menteri tanpa portofolio (hal. 77).
Kesalahan antisipasi Hindia Belanda terhadap Perang Dunia II adalah faktor lain yang menyebabkan runtuhnya Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda merasa memiliki kekuatan untuk mengatasi Jepang. Saat pemerintah Belanda sudah jatuh ke tangan Jerman, dan Ratu sudah mengungsi ke London, Pemerintah Hindia Belanda masih bernegosiasi dagang dengan Jepang. Namun saat Pemerintah Amerika menyatakan perang kepada Jepang, Hindia Belanda serta merta mendukungnya dan ikut menyatakan perang kepada Jepang. Padahal saat itu sekutu Amerika belum ada yang menyatakan perang kepada Jepang. Sikap terlalu percaya diri bahwa Hindia Belanda memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan Jepang, ternyata salah. Perekrutan milisi dari masyarakat tidak berjalan baik. Belanda hanya mengandalkan tentara dari kerajaan-kerajaan, seperti Mangkunegaran Pakualaman dan Keraton Surakarta dan Jogjakarta. Sementara kekuatan Sekutu yang diharapkan ternyata tidak terlalu terorganisir (hal. 200).
Faktor penting yang tak bisa diabaikan adalah pergerakan nasional. Sejak tahun 1918, pergerakan nasional mulai tumbuh. Jika sebelumnya gerakan perlawanan kepada Belanda bersifat kedaerahan, sejak tahun 1918, gerakan untuk merdeka sudah mengkristal.
Dinamika pergerakan ini sangat dinamis. ONGHOKHAM membagi gerakan nasional menjadi empat fase, yaitu: (1) fase 1920-1930, (2) fase 1930-1940, (3) fase 1940-1941 dan (4) 1941-1942. Fase 1920-1930 adalah fase awal yang menggebu-gebu. Hal ini disebabkan karena ada janji dari Pemerintah Hindia Belanda yang akan memberikan kemerdekaan secara bertahap. Namun fase ini juga ditandai sifat pergerakan yang non kooperatif. Sementara fase kedua, yaitu pergerakan dari tahun 1930-1940 ditandai dengan sikap yang lebih kooperatif dan bergaya barat. Pergerakan menggunakan alat-alat barat, seperti parlemen dan mass media untuk mencapai tujuannya. Gerakan teosofi, yaitu gerakan keagamaan bergaya barat mendapat tempat yang tinggi. Fase 1940-1941 adalah gerakan yang kembali tidak kooperatif dan ditandai dengan bangkitnya gerakan golongan Islam. Tokoh-tokoh pergerakan pada umumnya adalah golongan muda yang lebih terorganisir. Mereka ini memiliki disiplin dan kemampuan organisasi yang lebih baik. Sebab mereka rata-rata adalah pemuda yang memiliki latar belakang sekolah dan organisasi kepanduan. Pada fase ini Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan Madjlisul a’laa Indonesia (MAIA) menjadi dua organisasi yang menyatukan para aktifis pergerakan. Kedua kelompok ini, meski ada perbedaan di antara keduanya dan diantara anggotanya, memiliki cita-cita yang sama, yaitu “Indonesia Merdeka”. Sedangkan fase 1941-1942 ditandai dengan semakin dekatnya tokoh pergerakan kepada Jepang dan penangkapan-penangkapan serta pengasingan tokoh-tokoh pergerakan.
Sikap kecewa tokoh pergerakan karena diingkarinya janji November adalah menjadi pemicu utama mengkristalnya pergerakan Indonesia yang anti Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan dengan cara yang tidak kooperatif. Faktor ini menjadi sumber gagalnya gerakan semesta untuk mempertahankan Hindia Belanda dari serangan Jepang.
Strategi Jepang untuk menghancurkan angkatan laut Amerika di Perl Harbor adalah strategi yang jitu. Dengan hancurnya kekuatan angkatan laut Amerika maka penyerangan terhadap kekuatan Jepang menjadi lambat. Sementara Eropa masih sibuk dengan perang. Akibatnya Jepang dengan cepat bisa menguasai Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda. Sehingga pada tanggal 8 Maret 1942 Hindia Belanda secara resmi mengumumkan menyerah kepada Jepang (hal. 263).
Buku yang ditulis berdasarkan skripsi ONGHOKHAM pada tahun 1968 ini sangat menarik. Sebab ONGHOKHAM menulis sejarah dari kacamata Hindia Belanda. ONGHOKHAM juga menganalisis faktor luar, seperti bangkitnya kekuatan Jepang, perang di Eropa dan kondisi isolasi Amerika Serikat, selain dari kondisi dalam negeri Hindia Belanda. Informasi semacam ini sangat jarang kita temukan dalam buku-buku sejarah yang ditulis dengan cara pandang Republik Indonesia.
Ada bagian yang menurut saya bisa dibahas lebih dalam lagi yang tidak dilakukan oleh Ong dalam buku ini. Yaitu hubungan kebijakan untuk mengembalikan kepemerintahan di daerah kepada kelompok adat. Meski disinggung agak mendalam dalam awal pembahasan era de Jong, tetapi kemudian tidak dilanjutkan. Padahal saat Hindia Belanda melarikan diri ke Australia, banyak tokoh adat yang tidak bersedia untuk diajak serta. Mengapa mereka pada akhirnya mendukung pergerakan kemerdekaan dan tidak mendukung Hindia Belanda padahal mereka diuntungkan oleh kebijakan yang dibuat oleh Hindia Belanda? Jawaban samar-samar diberikan oleh Ong di halaman 109, yaitu kecenderungan para tokoh adat untuk menyekolahkan anak-anaknya dalam pendidikan barat dan kecenderungan tokoh-tokoh adat untuk mengambil menantu orang-orang yang memiliki gelar-gelar akademik. Faktor pendidikan barat anak-anak penguasa daerah dan para menantu yang memiliki gelar akademik, yang tentu saja adalah para tokoh pergerakan adalah penyebab tidak berlanjutnya dukungan tokoh adat kepada Hindia Belanda. Faktor lain yang mungkin menjadi penyebab adalah hadirnya residen dan asisten residen yang membatasi peran tokoh adat. Mungkin hal ini menyebabkan mereka kecewa. Penelitian yang lebih mendalam tetap diperlukan supaya kita memiliki gambaran yang lebih jelas mengapa tokoh adat tidak banyak yang mendukung Hindia Belanda di akhir eranya di Nusantara.
BPP00002106 | 959.802 ONG r | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
BPP00002105 | 959.802 ONG r | Badan Penelitian Pengembangan Kemdagri | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain